ATM Center di Kampus Jatinangor menjadi tempat berteduh paling ramai setiap musim hujan. Seperti sore itu, meski bukan musim hujan, namun masih ada sisa-sisa hari yang didatangi hujan. Seharusnya musim hujan sudah berakhir karena kini sudah memasuki akhir April. Bersiap menyambut musim penuh kehangatan matahari dan kecerahan awan. Namun, mendung masih menguasai langit. Lantai berkeramik putih di ATM Center dihiasi jejak-jejak sepatu berlumpur sebagai tanda adanya kehidupan manusia yang hilir mudik setelah menginjak tanah yang basah. Hujan masih turun bukan pada musimnya. Entah terlalu lama siklusnya atau terlalu cepat datangnya.
Klama masih memandangi hujan yang seakan datang dari ketiadaan. Dia tidak bisa melihat pangkalnya. Pada apa yang terjadi di atmosfer sana sehingga air menjadi tumpah ruah ke Bumi. Klama memandangi hujan yang selalu dijadikan alasan banyak orang untuk tidak melakukan rutinitas, apalagi Jatinangor kini menjadi tempat langganan banjir. Apalagi penyebabnya kalau bukan karena pembangunan yang mengganas. Tetangga Jatinangor, yaitu Rancaekek, sudah disulap menjadi kawasan industri karena banyaknya pabrik. Ditambah perumahan yang sudah menjamur menggunduli bukit. Jatinangor pun tidak mau kalah. Kawasan pendidikan membutuhkan infrastruktur dari mulai kos-kosan hingga apartemen, kios-kios hingga mall.
Memikirkan hal itu membuat Klama kembali meningat liputannya tahun lalu saat BEM mengadakan dialog dengan Kepala Camat Jatinangor dan beberapa pejabat lainnya mengenai isu Jatinangor menjadi perkotaan. Isu yang tahun ini tertutup dengan Pilkada.
Mencoba menahan hawa dingin yang sejak tadi berkeliling di sekitarnya, Klama melipat tangannya sambil bersandar pada dinding ATM Center. Apa lagi yang bisa dilakukannya selama menunggu persembahan hujan kalau bukan menulis. Klama membuka buku catatan bersampul gambar awan. Klama mulai menulis.
Gerimis di depan ATM Center.
Bumi di akhir bulan April. Bulan kelahiran Kartini. Pejuang yang membuat perempuan memiliki harapan untuk menjadikan diri mereka lebih bebas, lebih hadir, dan lebih terhormat. Keadaannya selalu berubah dari waktu ke waktu, bukan? Bagaimana menurutmu? Apakah Bumi dengan tiranosaurus-nya lebih mengasyikan daripada Bumi dengan makhluk super-alfa berjenis manusia? Setidaknya makhluk besar itu tidak memisahkan hujan dengan tanah dan membuatmu menjadi ‘genangan’ yang dikeluhkan.
Apa hujan tidak bosan? Mengalami siklus yang sama setiap musim, jatuh ke Bumi, mengalir liar, menguap ke atas, menggumpal menjadi awan, lalu jatuh ke Bumi lagi. Atau memang jangan-jangan hujan sudah bosan, makanya ia bermain-main dulu di Bumi. Di beberapa tempat hujan dinanti-nanti, di tempat yang lain dihindari. Pancaroba sudah tidak jelas. Tapi, terima kasih, siklus membosankan yang dijalani selalu membuat kami terbasuh. Menyeleksi kebusukan dan menggantinya dengan kejernihan.
Klama terdiam dalam jeda pikirannya, menyandarkan kepalanya lalu mengatur napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya. Orang yang ditunggunya sedari tadi baru saja lari tergopoh-gopoh ke arahnya.
Ismail adalah wakil redakturnya. Dia sendiri lebih senang menyebut Ismail kepercayaannya. Ketika membuka rekrutmen tahun lalu, dari satu kali wawancara, Klama sudah mendapatkan chemistry dengan mahasiswa juniornya itu. Wawancara dimulai dengan melihat sekilas CV dan portofolio Ismail, lalu Klama memberikan satu pertanyaan mengenai esaynya. Sisanya, seperti biasa, Klama mengabaikan lembar panduan interview dan mengajak pelamar untuk berdiskusi panjang lebar. Satu orang bisa menghabiskan waktu 10 menit diwawancara olehnya, Ismail menghabiskan waktu hampir 30 menit.
Klama meminta anggota redaksinya untuk menjaga interaksi satu sama lain dan menjadikan ORBIT sebagai rumah utama selama berada di Jatinangor. Jika ada yang menganggap bahwa kosan adalah rumah utamanya, maka Klama akan memboyong semua anggotanya untuk berkumpul di kosan orang tersebut. Merasakan kehadiran satu sama lain dan sense of belonging adalah hubungan emosional yang coba ditumbuhkan oleh Klama. Tanpa itu, rasa tidak nyaman akan menjadi alasan utama seseorang lari dari tanggung jawabnya di sebuah organisasi. Kegiatan rutin mereka adalah makan malam. Menurut Klama waktu yang mereka habiskan ketika sore, selepas kuliah, tidak cukup untuk menjadi quality time mereka. Maka pada sore hari mereka menjadi rekan rapat yang penuh tekanan dan malam hari mereka menjadi kawan makan malam yang menyenangkan.
Hujan mulai mereda, namun ketika Klama menengadahkan tangannya masih terasa tetes-tetes air yang ramai menyapa telapak tangannya.
“Lu udah lama nunggu ya, Kak?” Tanya Ismail sambil membenarkan jaketnya.
“Enggak. Tadi gue ketemu Ikmal dulu.”
“Oh ya? Gue tadi ketemu Kak Trian.”
“Ngapain?”
“Ngomongin elu.” Ismail terkekeh.
“Ngomongin apaan?”
“Kepo dah.”
Klama mencipratkan air yang tadi dia tampung ke arah Ismail. “Elu yang ngomong duluan, Bocah.”
Ismail masih terkekeh. “Biasa lah, ngobrol ngaler ngidul.”
“Oke, nanti ceritakan secara detail apa isi ngaler ngidulnya. Gue harus tahu setiap perubahan isi otak lu hasil dari mana aja.”