Rama yang duduk di sebelah Arya terus diliputi kebimbangan mengenai cara terbaik menyampaikan rencananya kepada Arya. Rama merasa kata ‘menambang emas’ menjadi sebuah kata yang akan menjadi bom atom yang akan meledak ketika keluar dari mulutnya. Rasanya kini dia tahu kenapa dia tidak pernah berhasil melakukan apapun. Karena beginilah dirinya, manusia titik nol, yang tidak bisa membicarakan hal serius dengan orang lain. Mungkin baginya mimpi itu bukan mercusuar, tapi bintang selatan yang redup.
“Ram,” panggil Arya menandakan ada pembicaraan penting yang akan dia sampaikan.
“Kayaknya kita sudah harus mikirin buat bikin CV perusahaan. Lu sudah belajar membuat percetakan, kan? Kita bisa rekrut beberapa orang yang pernah bekerja di percetakan. Goal-nya kita akan membuat sebuah percetakan sekaligus penerbitan buku.”
“Bukannya lu bilang bisnis di buku itu sama kayak bisnis di musik. Sudah banyak pembajakan. Kenapa sekarang malah semakin fokus di buku?”
Arya teringat ketika pertama kali ide muncul dari Klama. Saat mereka hanya membuka ORBIT di Bandung. Lalu akhirnya keinginan Klama membuka di Jatinangor terkabul ketika Rama hadir. Dari awal, Klama selalu mengatakan bahwa targetnya adalah perusahaan media massa.
“Memang, sih, sekarang orang-orang bisa membaca buku di e-book atau fotokopian. Membaca berita di e-paper atau portal berita online yang tinggal di-share di media sosial. Tapi orang-orang tetap butuh percetakan karena tidak semua orang senang membaca berlama-lama di depan layar. Ada orang yang mengumpulkan soal-soal try out di internet, tapi tetap ada juga orang yang lebih senang mendapatkannya langsung di buku Bank Soal. Kita tinggal tunggu Klama selesai kuliah dan mulai membuat bisnis di media.”
“Tapi hasil survey konsumen kita kan mereka lebih banyak membaca buku fiksi. Novel, komik, dan beberapa buku motivasi.”
“Disitulah tugas marketing berjalan. Ada yang namanya Pre Order, karena beberapa orang ingin menjadi orang pertama yang tahu cerita dari bukunya . Kita bikin event pada saat buku itu launching. Terlebih jika ada momen bertemu dengan penulis favoritnya. Kita adakan book signing. Kita menamakannya promosi, mereka akan menamakannya momen. Momen nggak akan bisa dibajak atau difotokopi. Dan, di antara momen-momen itu kamu tahu ada apa?”
Rama memilih menggeleng karena benar-benar tidak terpikirkan apa jawabannya.
“Ada iklan. Sponsor. Dari sanalah pemasukan kita benar-benar diandalkan. Kita nggak akan dapat sponsor kalau kita hanya sekedar perpustakaan dan toko buku online. Kita akan jadi perusahaan besar, Ram.”
Gerungan suara bis menyeimbangi semangat Arya saat memaparkan rencana-rencananya yang sudah dia susun bersama Klama. Rama tidak akan memahami bahasa proposal, bahkan Arya ragu apakah Rama akan benar-benar membacanya, maka Arya memilih menjelaskan langsung semua rencana dalam kepalanya itu.
“Perusahaan besar? Perlu perjalanan yang panjang untuk sampai kesana.” Rama mengatakannya hampir bergumam.
Dalam keremangan cahaya bis, Arya seolah memancarkan bara dalam dirinya yang sanggup membuat bis itu berpendar. Arya membicarakan segala rencananya secara detail kepada Rama. Tentu saja, selama setahun ORBIT berdiri, mereka hampir jarang bertemu karena kesibukan Arya. Sebulan sekali. Paling cepat, dua minggu sekali. Hanya Klama yang rutin mengunjunginya. Dan, Rama menyadari sesuatu. Arya tengah memanfaatkan perjalanan ini untuk mengajarkannya berbisnis. Sementara dirinya terdiam memikirkan waktu yang tepat untuk menyampaikan rencananya resign. Ini akan jadi pertarungan bisu yang melelahkan baginya.
Beberapa saat setelahnya, obrolan ringan menggantikan diskusi panjang. Hingga akhirnya mereka sampai di pemberhentian bis.
Satu persatu dari mereka menuruni bis di terminal Pasar Rebo. Secara naluriah, Rama menghindari berdekatan dengan Arya. Akibatnya, dia jadi sering merapat kepada Gais dengan menggoda atau meledeknya tanpa alasan. Sementara Klama memilih berbicara lama-lama dengan Ismail daripada berada di sekitar Skay. Situasi itu membuat Skay menemani Arya selama menunggu kakaknya Ismail datang menjemput. Malam ini mereka akan menginap semalam di rumahnya dan besok pagi melanjutkan perjalanan dari stasiun Tanah Abang.
Gais memandangi langit malam yang hanya memunculkan beberapa bintang karena awan masih menumpuk di langit.
“Aku nggak paham, selalu ada pengamatan bersama tapi kenapa hujan meteor nggak pernah kelihatan?” Gais mengamati cahaya bintang yang berkelip namun tak bergerak.
Rama menoleh. “Kamu berharap hujan meteor kelihatan di langit kota yang penuh cahaya lampu?”
“Benar juga. Jadi, kita harus menciptakan gelap untuk bisa melihat cahaya.”
Skay ikut menimpali. “Kalau masalahnya cahaya berarti pengamatannya harus di atas bukit atau di pedesaan yang minim cahaya lampu. Di waktu antara tenggelamnya bulan dan sebelum subuh. Tepat sepertiga malam. Pas langit lagi gelap-gelapnya. Tapi jangan pas lagi purnama juga.”
Gais mengangguk paham, lalu menatap Skay. “Kakak jurusan apa?”