Meski Jakarta masih ramai menjelang tengah malam, namun perjalanan yang mereka tempuh tidak sampai tigapuluh menit. Mobil memasuki sebuah gerbang tinggi dengan plang diatasnya bertuliskan “Baitul Anshar Rumah Penghafal Quran”. Mereka semua melongo.
“Kok kita ke pesantren?” Skay yang pertama bertanya.
“Kalian bilang mau tidur dimana saja, bebas.” Jawab Ismail.
Klama yang tak kalah kagetnya ikut bertanya. “Emang gue nggak apa-apa datang kesini?”
“Lu takut disuruh sholat, Kak?” Seloroh Ismail.
“Memangnya kenapa?” Kali ini Gais yang bertanya.
Skay menoleh ke arah Klama sebelum menjawab. “Dia Katolik.”
Ishaq hanya tersenyum mendengar kepanikan mereka. Dia sudah menduga kalau adiknya tidak memberitahu mereka perihal tempat tinggalnya yang di dalam pesantren. Dari dulu Ismail tidak suka menunjukan dirinya sebagai anak pemilik pesantren Baitul Anshar.
“Tenang saja, Abah sudah tahu tentang kalian, kok. Disini ada bangunan yang isinya kamar-kamar untuk tamu yang datang. Kalian nanti tidur disana.” Ishaq menjelaskan.
Sambil memarkir mobilnya, Ishaq meneruskan.
“Disini tengah malam sampai subuh juga masih banyak orang di mesjid. Kalian jangan sungkan minta tolong kalau butuh apa-apa. Jam empat subuh speaker mesjid udah bunyi. Jadi jangan kaget karena suaranya bakalan kenceng banget ke tempat kalian. Oh ya, Ummah sudah siapkan makanan. Mau diantar ke tempat kalian atau makan di rumah?”
Mobil sudah terparkir. Ishaq menoleh ke belakang menunggu jawaban.
“Makanannya buat sarapan aja kali, Bang.” Saran Ishaq.
“Ya sudah, teh manis aja cukup?”
“Cukup, cukup.” Mereka menjawab bersahutan.
Satu persatu tim peliput Seba menuruni mobil. Klama yang paling tercengang dengan tempat mereka berada. Bukan hanya karena pertama kalinya dia memasuki sebuah pesantren, tapi kenyataan bahwa orang dekatnya adalah bagian dari tempat ini. Hidup selalu punya kejutan, selalu punya hal yang tak disangka-sangka.
Besoknya, Skay menjadi orang yang pertama bangun. Dia membangunkan anggota yang lain agar segera bersiap.
Ishaq kembali mengantarkan tim ini menuju stasiun Tanah Abang. Di stasiun, sepuluh menit berlalu untuk membeli cemilan. Sepuluh menit berikutnya berlalu untuk membeli tiket dan mengecek perlengkapan. Beberapa menit menanti kereta datang, lalu muncullah si ular besi yang mereka nantikan. Kali ini mereka duduk di kursi panjang berhadapan tanpa sekat.
Mereka menghabiskan waktu dengan main tebak-tebakan. Maka berlangsunglah jokes konyol yang tak jarang garing dan ditertawakan karena saking garingnya. Beberapa kali Skay dan Klama terjebak adu pendapat dan saling melempar opini seperti orang bermain tenis meja. Berpendapat, menyimpulkan, melawan, dan mempertanyakan. Beginilah resikonya jika mengajak travelling tiga aktivis yang sedang panas-panasnya berpikir kritis. Diskusi dan saling mengkritisi seakan menjadi adiksi dalam keseharian mereka kini. Apapun yang mereka bicarakan akan berujung adu menang.
Langit Rangkasbitung terang benderang menyambut mereka. Tepat tengah hari saat mereka turun dari kereta Rangkas Jaya dan dijemput oleh Pak Samad, warga Kanekes yang bertanggung jawab menjadi tour guide mereka. Sebelum menginap di Kanekes, mereka akan bertemu dengan Kepala Desa, yang secara adat disebut Tangtu Tilu Jaro Tujuh atau Jaro Pamarentah. Selain menemui Jaro Pamarentah, mereka juga akan menemui Puun yang memimpin Kanekes secara adat.
Perawakan Pak Samad tak berbeda jauh dengan warga nusantara yang lain. Wajahnya keras kebapakan, namun dihiasi senyuman polos. Pakaiannya rapi, mungkin sengaja rapi untuk hari itu, namun gerak- geriknya secekatan atlet papan atas dan kecepatannya berjalan membuat yang lain jadi seperti anak kecil yang belajar jalan.
“Nanti kita akan menginap dimana?” tanya Skay kepada Ismail.
Mereka kini sudah duduk dalam sebuah angkutan umum yang khusus disewa untuk mereka bertujuh, ditambah Pak samad dan temannya.