Perjalanan selalu menciptakan antusiasme di awal, lalu berubah menjenuhkan di seperempat perjalanan, dan akan menjadi kenyamanan setelah melewati setengahnya. Mata mereka sudah dipenuhi dengan kearifan Kanekes. Rumah-rumah sudah mulai bertransformasi serempak menjadi petak rumah dengan arah yang sama dan berjejer rapi. Karena kontur tanah tidak boleh sengaja diratakan, maka rumah-rumah disana ditinggikan dengan batu. Didominasi kayu dan anyaman bambu sarigsig dengan atap dari daun yang disebut sulah nyanda yang melambai seakan mengucapkan selamat datang.
“Ini baru Baduy!” Rama mengucapkannya pelan, namun seakan menahan diri untuk tidak berteriak membendung perasaan antusias.
“Kanekes, boy. Mereka lebih nyaman dipanggil urang Kanekes.” Ismail mengingatkan.
Rama menunjukan gestur minta maaf dan mengangkat ibu jarinya dengan bilang okay.
Mereka kemudian melewati leuit, tempat hasil panen dikumpulkan milik warga tanpa terkecuali. Jika hanya melihat sekilas, mereka tidak akan menyadari kalau tempat yang mereka lewati bukanlah sekumpulan rumah, melainkan lumbung padi.
“Dengan keberadaan leuit itu, nggak ada rasa khawatir akan hitung-hitungan untung rugi. Nggak ada rasa tertarik untuk memperkaya diri sendiri.” Ismail menerjemahkan ucapan Pak Samad untuk Klama yang sedang mengumpulkan informasi.
“Ada stiker caleg disini.” Komentar Klama, matanya tertuju pada salah satu leuit dengan tempelan stiker caleg.
“Memangnya kenapa? Mau didemo karena ada unsur politisasi warga Kanekes disini?”
Klama menahan diri untuk tidak menoyor Ismail. “Bukan begitu, Pak Ustad. Nggak nyangka saja disini tersentuh politik. Bukannya KTP pun jarang yang punya. Kalaupun membuat KTP, mereka harus memilih agama yang ada, kan.”
“Memangnya agama mereka apa?” Tanya Gais.
“Agama sunda wiwitan. Katanya semacam agama orang Sunda asli. Tapi kayaknya sunda wiwitan juga sudah dipengaruhi oleh tradisi agama lain.” Jelas Klama.
Ismail mengangguk setuju. “Beberapa tradisi lintas agama memang kadang ada yang sama, kan, kayak vyapak saocha dari Buddha lalu diterapkan dalam yoga untuk mendinginkan titik-titik panas tubuh. Titik-titik tubuh yang dibasuh itu sama kayak titik-titik tubuh yang dibasuh saat berwudhu.”
Sepanjang jalan mereka tak luput mengamati apa yang tampak di kanan dan kiri mereka. Perempuan-perempuan orang Kanekes duduk di selasar, menenun, membuat kerajinan tangan sambil sekali-kali melirik pendatang yang lewat tanpa menunjukan ekspresi tertarik. Mungkin mereka bosan dengan banyaknya orang asing yang keluar masuk disana. Segerombolan anak bermain dengan bola setengah bopeng dan lapangan yang tak berpola.
Setelah melewati perkampungan, mereka sampai pada daerah ladang di pinggir hutan dan perbukitan yang seolah memerangkap mereka di tengah-tengahnya. Tak ada tanda-tanda perkampungan lain sejauh mata memandang. Hanya ladang dan hutan. Juga langit.
“Apa disini masih ada binatang buas?” tanya Gais penasaran.