Keung deungkleung buah kopi raranggeuyan
Ken anu dewek ulah pati diheureuyan
Cing cangkeling manuk cingkleng cindeten
Plos ka kolong bapak satar buleneng
Anak-anak tertawa riang sambil bermain di pekarangan rumah. Sementara ibu-ibunya kebanyakan bekerja di kebun dan sawah, beserta suami mereka. Ada juga yang tidak bekerja dan mengasuh anak mereka.
Ciwade, sebuah tempat yang berada di kaki gunung, bisa dikatakan kampung itu terisolir dari dunia luar. Penerangan saja masih memakai tenaga panel tenaga surya yang kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk itu pun tak terlalu terang, sehingga sebagian masyarakat menggunakan cempor ( pelita dari minyak jarak) jalanan kampung juga belum bisa dilalui kendaraan, hanya jalanan setapak untuk para petani. Kehidupan mereka bergantung pada sawah dan juga kebun, sebulan sekali akan ada pengepul datang membeli hasil bumi. Mereka biasanya akan menaruh hasil panen di lumbung.
Rumah mereka masih terbuat dari bambu dianyam, yang biasa orang sebut bilik. Lalu bertingkat atau agak tinggi agar di bawahnya bisa menaruh binatang, seperti ayam, bebek atau marmut. Mereka tidak mengenal namanya televisi, mereka hanya mendapatkan hiburan lewat radio yang menyala dengan batu batreai. Bila suaranya sumbang batu batreai akan dijemur di atas genting atau batu, mereka mempercayai cahaya matahari bisa membuat baterai kembali hidup.
"Barudak, sini buruan. Saatnya belajar!" teriak seorang gadis manis, rambutnya yang hitam dan panjang diikat dua dan memakai kebaya berwarna biru muda, sementara ke bawahnya memakai kain batik yang dililit menyerupai rok selutut. Gadis itu tertawa riang, saat anak-anak menghampirinya.
"Teteh sekarang waktunya baca cerita apa?" tanya salah satu anak perempuan.
"Cerita tentang timun mas."
Neneng—gadis kampung biasa, pekerjaannya membantu kedua orang tua di sawah lalu mengajarkan anak-anak membaca dan menulis, terkadang membacakan cerita dongeng. Neneng dulu sempat sekolah, hanya tamat SD karena ayahnya meninggal Neneng tidak meneruskan sekolahnya dan memilih ikut bersama ibunya yang menikah lagi dengan seorang duda asal Ciwade. Neneng tumbuh menjadi gadis yang cantik, periang dan cerdas. Semua orang kagum padanya, sayang sekali jika dia tinggal di kota mungkin saja sudah menjadi orang sukses.
"Teh, ayo atuh mulai ceritanya." Kata anak-anak antusias.
Neneng tersenyum, lalu mulai bercerita tentang sepasang suami istri yang belum dikaruniai keturunan lalu raksasa memberinya ketimun ajaib. Anak-anak antusias mendengarkan cerita Neneng, begitu juga dengan sosok wanita paruh baya yang sedang duduk diam-diam mendengarkan cerita Neneng.
Namanya Julaeha, atau orang biasa memanggil dirinya Ceu Eha. Dia adalah perempuan berumur 60 tahun. Dia dan suaminya Kang Onni, sudah berumah tangga hampir 15 tahun dan Tuhan belum memberikan mereka keturunan. Ceu Eha dan Kang Onni tetap bersabar, mungkin ini adalah bagian dari perjalanan hidup mereka.
Ceu Eha tersenyum, membayangkan cerita Neneng menjadi nyata dalam hidupnya. Ceu Eha berharap bisa mendapatkan anugerah dari yang kuasa.
"Ceu lagi apa?" tanya Neneng, cerita selesai dan anak-anak berhamburan pulang saat melihat orang tua mereka datang dari sawah.
Jika kalian bertanya apa mereka sekolah? Jawabannya tidak, karena akses menuju desa utama yang ada sekolahnya itu sangat jauh. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk pergi ke desa, dan melewati beberapa sungai. Anak-anak itu tahu membaca dan menulis dari Neneng. Gadis itu merasa kasihan pada mereka, jadi dia menyumbangkan sedikit ilmunya, meskipun dari kampung minimal mereka tahu cara baca tulis dan menghitung.