Luna sengaja mengawali berangkat kerja dari biasanya. Hari Senin sudah pasti macet, apalagi depan Cito sampai jalan Ahmad Yani. Luna malas buat nyetir sendiri. Efek semalam insomnia alias tidak bisa tidur. Matanya agak sembap karena menangisi masa lalunya.
"Dengan akun LunaLuny?" sopir grab menurunkan kaca mobil.
Luna segera membuka pintu bagian penumpang. Menyandarkan kepala sambil sesekali memijat perlahan-lahan. Melihat situasi sekeliling melalui kaca jendela mobil.
"Kuliah atau kerja Mbak?" tanya sopir taksi yang berusaha memecah macetnya kota Surabaya.
"Saya kerja Pak," jawab Luna singkat.
"Kerja di mana Mbak?"
"Graha Pos Pak."
"Mbaknya wartawan atau reporter?" tanya sopir taksi, "gajinya gede dong."
Luna memasang senyum sekilas, lalu memilih diam. Orang kalau tidak tau selalu menganggap dirinya sedang bekerja di salah satu media terbesar itu. Ya sudah disyukuri saja, lagian prasangka orang boleh diaamiinkan, selagi itu baik sih.
Oh ya, sebenarnya Graha Pos itu terdapat gedung serba guna. Di dalamnya tidak hanya tempat bekerja divisi surat kabar. Ada juga saluran televisi lokal yang menyewa gedung itu. Sementara tempat kerja Luna yang di penerbitan buku dan jurnal. Tidak ada sangkut pautnya dengan Graha Pos. Berhubung orang-orang lebih kenal Graha Pos, tiap naik kendaraan umum selalu bilang turun Graha Pos. Biar tidak ribet kalau harus menjelaskan lain hal.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam. Langkah kaki Luna segera menyusuri gedung tersebut. Melewati lift terlebih dahulu, karena tempat dia bekerja berada di lantai 5.
Bebarengan dengan staf dan karyawan lain yang juga sedang mulai bekerja. Luna asing dengan wajah mereka, karena Luna tidak biasanya berangkat jam segini. Beberapa id card yang terpasang sempat Luna lihat. Ada yang bekerja di majalah fashion, anak IT, OB, bagian pujasera, dan ada pengacara juga. Sebelah penerbitan buku ada kantor hukum soalnya.
Sesampai di area kerja, Luna disambut Bu Pur, merupakan customer service sejak dulu.
"Pagi Mbak Luna, gaya baru nih pakai kacamata."
Kalau bukan karena mata sembab usai menangisi Niko semalam, Luna mana mungkin pakai kacamata buat menutupi.
"Lagi pengen aja Bu, pantes nggak?" tanya Luna.
"Cantik Mbak, pakai apa aja kalau orangnya cantik ya cantik."
"Bu Pur bisa aja, bahaya nanti kalau kepalaku jadi besar."
"Tak kenalin sepupu saya Mbak, anaknya ganteng," goda Bu Pur.
"Bawa sini lah Bu, siapa tau jodoh Luna," Luna ikut menanggapi.
"Tapi sayang Mbak, masih SMA."
"Yaelah Bu, PHP banget sih Bu, udah ah mau ke meja dulu."
Luna merajuk, Bu Pur balas tersenyum. Sudah biasa kalau keduanya bercanda setiap pagi. Toh bukan bercanda pas jam kerja kan?