Kanksa

Tika Lestari
Chapter #17

Harum Sedap Malam

Umik dirawat di rumah sakit, Abah yang jaga Umik. Untung saja pihak rumah sakit membolehkan untuk ditunggu. Umik jadi tidak merasa takut berobat sendiri. Sebenarnya Umik sejak awal di bawa ke rumah sakit itu tidak mau. Seperti ini yang dialami kalau ke rumah sakit sewaktu virus Corona mewabah. Umik hanya perlu cairan infus, tapi Bima tentu khawatir berlebih. Nasi sudah menjadi bubur, sudah terlanjur di rumah sakit, daripada dikucilkan sama masyarakat, ya sudah dijalani saja prosedurnya.

Persiapan di rumah Bima sudah 40%. Beli bahan untuk menyambut tamu juga sudah ada. Bumbu dapur juga sudah terbeli. Siapa sangka kalau akan mendapat cobaan seperti ini. Saudara Abah dan Umik turut membantu untuk membereskan. Daripada bumbu dapur itu busuk dan mubazir.

Pernikahan kurang seminggu lagi, mana mungkin Umik bisa ikut serta. Sudah pasti kalau acara unduh mantu ditunda, karena kalau ditiadakan jelas mustahil. Bima anak tunggal, mana mungkin tidak ada pesta di rumah.

Luna jadi berpikir, coba dulu ikut kemauan Umik untuk mengadakan resepsi bulan Rajab, pasti tidak seperti ini. Umik bilang ba'da mulud dipertimbangkan, jadinya Umik diberi sakit.

Tapi bisa juga karena keinginan Umik yang tidak boleh terwujud. Kapan hari Umik bilang kalau ikut serta resepsi di rumah Luna. Sementara nenek Luna memberi arahan supaya sesama Besan jangan bertemu dulu sampai 40 hari.

Sebenarnya tidak menyalahkan Umik. Bisa jadi karena Bima anak tunggal, maka Umik mau mendampingi. Tapi bagaimana lagi, kalau takdir sudah merencanakan hal yang manusia sendiri tidak tahu.

Pesta di rumah Aluna tetap saja berjalan, karena Umik juga ingin menyegarkan Bima menikah secara sah. Umik dan Abah merestui walau tidak bisa hadir ke perayaan pesta. Keluarga besar Umik dan Abah yang mengantar Bima menikah pun tak kuasa menahan air mata. Bima menikah, tapi Umik opname di rumah sakit dan Abah mendampingi. Rumah Bima yang seharusnya ada perayaan pun terlihat sepi.

Hari kamis, bunga sedap malam yang Luna pesan secara online sudah datang. Meskipun belum sepenuhnya mekar, tapi bunga itu begitu semerbak memenuhi isi rumah Luna. Sedari dulu Luna menyakini kalau pesta pernikahan lebih pantas ada bunga sedap malam di setiap meja tamu undangan. Selain identik dengan pengantin, biar menjadi pembeda juga dengan pesta khitan atau lainnya.

Kebetulan akad pernikahan hari Jum'at, hari Sunnah untuk melangsungkan ibadah kalau kata Umik. Luna memilih tema putih untuk akad, baginya warna putih itu identik dengan pengantin. Sejak pagi Luna sudah dirias, rasanya masih belum percaya kalau dia akan menjadi istri orang. Meskipun sudah menikah siri terlebih dahulu, tetap saja suasana menikah secara sah ini begitu mendenarkan.

Seseorang yang dulu pernah Luna tulis pada buku diarynya. Bima yang pernah menggetarkan hatinya saat belia. Bima yang pernah membantu saat mengalami kesusahan. Namun Bima pula yang melupakan, dengan membiarkan hati Luna berjuang sendirian untuk melupakan.

Sejatinya Luna menerima pinangan Bima ini ketika akrab secara intens kurang lebih 2 tahun. Keduanya sama-sama berkomitmen meskipun tidak pernah terucap pada bibir masing-masing. Menjalani sebuah hubungan dengan keyakinan bahwa mereka ditakdirkan untuk menjadi pasangan.

Luna didampingi Mama dan Budhe, keluar kamar setelah 2 jam dirias. Berbalut pakaian kebaya warna putih yang simple namun elegan. Luna juga menggunakan face shield transparan sebagai formalitas saja. Menikah di era musim Corona mengharuskan untuk memakai alat kesehatan. Luna lebih memilih face shield dari pada masker, sayang make up kalau tidak terlihat akibat tertutup masker.

Ruang tamu sudah dipenuhi sanak keluarga, dan sudah hadir Penghulu serta Modin. Papa dan beberapa kerabat mengitari meja akad. Dan tak lupa Bima yang sudah Luna mantapkan hati untuk diterima sebagai suami. Keduanya duduk di antara Papa, Luna yang kapan hari ingin sekali Papa sendiri yang menikahkannya. Akan tetapi penghulu yang ditugaskan, Papa bilang, "Biar penghulu saja yang mengikrarkan akad, Papa cukup merestui. Lagian supaya penghulu kerja tidak makan gaji buta," ucap Papa jenaka.

Luna cemberut sih sebenernya, karena dia ingin sekali kalau Papa yang mengikrarkan. Tapi Luna cukup pengertian, mungkin Papa memang tidak siap. Bukan karena tidak mau Luna menikah, tapi lebih seperti merasa kehilangan. Anak yang dulu dia besarkan, dia cantikkan, dia pintarkan, kini sudah jadi milik orang. Luna sih taunya sekilas alasan tersebut, karena yang paling tau ya para bapak-bapak. Baiklah, Luna hormati keputusan Papa, mungkin memang beliau belum bisa merelakan, atau melepaskan anak perempuannya. Yang penting sah.

Setelah penghulu berbicara bahwa semua dipasrahkan, Papa bergeser ke belakang. Luna dan Bima duduk bersebelahan. Tangan kanan Penghulu dan Bima saling bersalaman, Luna berasa deg-degan. Semoga pilihannya ini memang yang terbaik. Ucap Luna dalam hati.

Lihat selengkapnya