Kanksa

Tika Lestari
Chapter #23

Rasanya Jadi Aku

Pagi-pagi Luna dibangunkan chat dari Mbak Karin, saudara Bima. Mbak Karin yang habis lahiran, meminta tolong Luna untuk mengantar ke rumah sakit. Mbak Karin menikah tanpa didampingi suami. Suami Mbak Karin bekerja di perusahaan minyak di Abu Dhabi. Jadi mereka menjalani pernikahan jarak jauh. Usut punya usut, Suami Mbak Karin dulu yang mengajak Bima untuk sekolah layar. Kemudian menawari Bima untuk ikut serta ke Abu Dhabi, untung sih nggak jadi..

"Maaf ya Mbak, aku rada telat," ucap Luna ketika sampai rumah Mbak Karin.

"Nggak pa-pa Dek, Mbak yang maaf karena ngerepotin," ucap Mbak Karin.

"Santai aja Mbak, Luna mumpung libur kerja juga," Luna membukakan pintu mobil, "langsung berangkat ya Mbak?"

"Iya Dek,"

Pajero hitam milik Bima segera meluncur menuju rumah sakit tujuan. Luna sudah bisa menyetir semenjak Bima melatihnya. Ada untungnya juga bisa nyetir gini, bisa bantu orang kalau diperlukan. Mbak Karin rupanya sedang memberi asi anaknya yang masih di ruang NICU. Luna merasa sedih karena ibunya sudah pemulihan di rumah, tapi anaknya masih di rumah sakit.

Umik bilang, Mbak Karin sedih selama hamil. Suami jarang pulang, dan ketahuan punya istri lagi di sana. Meskipun uang bulanan tidak pernah di stop, tapi istri mana yang rela berbagi suami. Wajah Mbak Karin juga tak bisa bohong, masih terlihat pucat meskipun masih memakai jarik. Mbak Karin, besar di panti, jadi tidak ada orang tua yang dijadikan sandaran.

Luna jadi berpikiran, cobaan rumah tangga itu beragam. Mbak Karin yang sudah punya anak, rumah besar, mertua sayang, tapi suami menikah lagi.

*

Usai memarkirkan mobil, Luna segera menggandeng tangan Mbak Karin. Minta Mbak Karin untuk menunggu sebentar, Luna mau mencarikan kursi roda. Ruang NICU memang dilantai satu, tapi berjalan agak jauh.

Tak berselang lama karena dibantu satpam juga. Luna segera menghampiri Mbak Karin. Melewati koridor rumah sakit dan beberapa ruang seperti lab, USG, BPJS dan beberapa ruangan poli.

Luna segera membuka ruangan NICU. Mbak Karin pun berganti baju hijau dan memakai sarung rambut, begitu juga Luna. Kata Mbak Karin sih untuk sterilisasi. Sampai di box nomor 5 Mbak Karin berhenti, duduk di kursi yang sudah disediakan. Ada 2 kursi, mungkin memang digunakan untuk anggota keluarga.

Ruangan NICU terlihat penuh, box yang disediakan ada 8 dan terisi semua. Namun hanya ada 3 keluarga yang datang. Katanya bergantian biar lebih kondusif. Mbak Karin segera memberi asi untuk puterinya.

"Sudah 4 hari di sini, rasanya kangen Nak," Mbak Karin berbicara sama bayinya.

Mbak Karin berusaha mengajak ngobrol meskipun keadaannya lagi sedih. Tapi dokter bilang kalau bayi pun perlu diajak bicara supaya telepati antara ibu dan anak terjadi. Terlihat pintu terbuka, ada sepasang suami istri yang datang. Kemudian berhenti di box nomor 6. Mbak Karin yang melihat hal itu buru-buru menutup dada. Luna yang sadar situasi pun membantu Mbak Karin.

"Alay,"

Suara perempuan itu sambil menggendong bayinya. Luna mendelik melihatnya. Luna tidak ada pernah takut sama orang, selagi dia tak diusik. Tapi barusan, jelas-jelas dia mengusik Luna dan Mbak Karin.

"Biasa saja Mbak, saya nggak napsu, punya istri saya lebih bohay," ucap laki-laki di sampingnya.

Jancuk

Persetan dengan menantu yang mertuanya sudah pernah haji.

Empati sebagai pria itu di mana? Termasuk pelecahan gak sih?

"Tolong, kalau bicara bisa sopan dikit nggak?" Luna mulai geram.

Keluarga lain pun turut menyimak. Sedangkan laki-laki itu jadi diam tak bersuara. Justru bercanda sama perempuan itu. Seperti pasangan suami istri yang aneh. Dikira Luna takut.

Mbak Karin mencegah tangan Luna, tapi tak berhasil. Luna keburu ngomel sama pasangan suami istri itu.

Lihat selengkapnya