Kanvas

Bentang Pustaka
Chapter #3

Qayyima

MATAHARI masih sama lancang seperti kemarin, panasnya sengangar. Teriknya menjilat bumi, menciptakan fatamorgana jika dipandang dari jauh. Relung langit biru yang menyejukkan berpadu dengan sinar mentari yang kini dirasa menyelekit kulit. Ibu Kota mungkin akan selalu begini. Asap merabung kompak dari knalpot kendaraan, mengangkasa, membuat awan kelabu tandingan, seketika membuat siapa pun yang memasuki kota besar ini segera menjadi sosok yang menyedihkan: hitam legam, kepang-kepot, lecek, dan kumal.

Derum kendaraan tak mau kalah di ruas-ruas jalanan, serupa paduan suara ringsek, membuat macet jadi ahwal yang menjengkelkan. Bajaj berbunyi serupa pelat besi yang terantuk berkali-kali sampai membikin telinga pekak. Para kernet bertingkah, seperti bersahut pantun dari bus Kopaja tempat mereka bertugas masing-masing. Memaksa jadi aturan, siapa pun digiring masuk, padahal tak semuanya yang melanglang di sana mau naik.

Bayangkan, keriuhan semacam itu harus dicekokkan kepada para siswa-siswi SMA Khidmat Negeri tiap pagi. Kebetulan saja sekolah swasta yang mau dinasionalisasi itu berada di tepi jalan besar. Kemacetan di depan gerbangnya bak tradisi, jadi serupa pit stop dalam perlombaan formula satu. Setelahnya bisa ditebak: mobil-mobil sedan luks yang berhenti di depan gerbang itu menurunkan anak seumuran SMA, kemudian pergi. Terutama tiap Senin pagi, mereka cuma menginginkan sebuah permintaan: anaknya tak terlalai ikut apel.

SMA Khidmat Negeri mungkin adalah sekolah yang tak begitu istimewa. Swasta, bukan negeri. Prestasi pendidikannya pun biasa saja. Biaya sekolahnya sok jual mahal. Kebanyakan yang sekolah di sini adalah “anak-anak buangan”, yaitu mereka yang tak lulus ujian masuk sekolah negeri. Banyak orang kaya yang memasukkan anaknya ke sini, dengan kilah bahwa sekolah ini sebentar lagi akan dijadikan sekolah negeri sehingga akan terasa sama saja dengan bersekolah di sekolah negeri. Namun, alasan yang tak mereka perikan adalah fakta bahwa anak-anaknya memang tak lolos ujian masuk, entah karena ketidakberuntungan ataupun memang bebal dan bodoh turunan.

Pada tengah keriuhan pagi nuansa gerbang SMA Khidmat Negeri malah lebih terlihat suram. Retak-retak, cat pada tulisan timbul di papan logam yang melintang di atasnya mulai terkelupas, nyaris rontok. Gerbangnya hanya dibuka sedikit, hanya seukuran satu orang, dari sanalah para siswa bisa masuk. Dinding yang berdiri tegar memanjang membuat batas pengakuan: di luar dinding ini sudah bukan tanggung jawab sekolah. Dinding krem lusuh itu pun sudah dicorat-coret grafitti anak-anak jalanan yang ongkang-ongkang. Sama sekali tak terurus. Satpamnya pun hanya duduk malas di pos yang terletak di samping gerbang. Matanya waspada memang—walau lebih cocok dikatakan jelalatan—tapi lebih sering mencuri pejam karena kantuk semalaman menonton tanding bola.

Padahal, sekarang baru hampir pukul delapan pagi. Para siswa baru saja berhamburan setelah usai apel Senin pagi yang membosankan. Mereka masih saja berisik, memperkuat hipotesis bahwa anak SMA dengan anak SD jadi tiada beda.

SMA Khidmat Negeri memiliki susunan lokal gedung berbentuk leter U, di tengahnya terhampar lapangan dengan tiang bendera sebagai poros pusatnya. Lokal kelas berlenggek tiga lantai, menantang langit.

Seperti biasa, jadwal pukul delapan, tapi baru mulai pukul setengah sembilan. Di luar kesadaran, pendidikan jam karet sudah begitu mengakar. Para guru itu yang mengajarkannya sendiri kepada anak muridnya secara tak langsung meskipun jika ditanya mereka takkan pernah mengaku.

Begitu kuatnya perilaku alam bawah sadar manusia.

Jadilah, anak-anak berseragam putih abu-abu duduk berjajar di depan kelas mereka masing-masing. Ada yang mengolok sesamanya, bicara jorok, cerita banyolan hari kemarin, juga ada yang sempat curi-curi pacaran. Semuanya dilakukan di luar kelas. Ruangan dalam kelas seakan jadi momok. Entah mengapa.

Di dalam kelas hanya ada Qayyima.

Qayyima Salimah nama panjangnya. Gadis berjilbab itu melawan arus yang mengatasnamakan masa ABG, yang merempuh dari berbagai arah. Jilbab besar yang ia kenakan bukanlah karena mengikuti organisasi Islam tertentu, melainkan karena memang semata tunduk atas syariat Allah yang memerintahkan wanita muslim menjulurkan kain jilbabnya melebihi dada.

Anak manis itu lebih memilih kesendirian daripada terkontaminasi kekotoran pikiran khas anak muda. Mengisolasi diri dari ingar-bingar dunia masih jauh lebih baik daripada mereka yang mengekor hingga tertungging-tungging di belakangnya.

Banyak yang bilang, wajah Qayyima serupa syarifah keturunan baginda Nabi Muhammad Saw. Bagaimana tidak, matanya cantik bukan buatan. Bulu matanya lentik. Alisnya tegas. Hidungnya bangir menggemaskan.

Padahal, dia orang pribumi.

Pipinya agak tembam, tetapi tak ada dampak berarti terhadap tubuhnya. Ia selalu berpakaian rapat menutup auratnya karena terdidik sedari kecil.

Qayyima bisa duduk di sini sebetulnya bukan karena ia tak lulus ujian di sekolah negeri, melainkan karena nasibnya yang tak menguntungkan.

Ia tak beruntung masuk ke sekolah negeri karena saat ia mau mendaftar, semua sekolah negeri sudah menutup pendaftaran. Padahal, ia sesungguhnya anak yang cerdas. Pikirannya brilian.

Cuma uang banyak yang tak ia punya. Ia bukan dari keluarga yang mapan finansial. Ayahnya lumpuh karena stroke, ibundanya telah wafat lima tahun lalu, adiknya tiga: ada yang sepasang kembar. Di Jakarta tak ada kerabat dan saudara yang bisa membantu keseharian mereka karena rumah saudara terdekat mereka, Paman Akmal, letaknya di Cikarang yang jarak tempuhnya cukup melelahkan. Beliau adalah kakak Ayah yang paling besar. Beliau sejauh ini hanya dapat membantu lewat kiriman uang yang tak banyak. Maka, untuk menghidupi mereka, Qayyima harus mencari uang sendiri selepas sekolah siang nanti, untuk keluarganya dan tentu, untuk membayar SPP bulan depan karena kiriman dana dari Paman Akmal bulan ini belum juga tiba.

Ia duduk di pojok kelas, berkarib dinding hijau pastel yang dingin. Sejuk. Di hadapannya terbentang buku Sejarah yang tebalnya masya Allah. Ia selalu bisa menjiwai sejarah, wajar jika Sejarah kemudian menjadi mata pelajaran favoritnya.

Dan, juga pelajaran Kesenian.

Dua ahwal itulah yang membuat ia betah berjam-jam bertelekan kursi. Jika tidak sedang membaca buku Sejarah, pasti tangannya tengah menggurat-gurat kertas dengan potlot—melukis.

Qayyima mewarisi bakat melukis dari sang ibu, ibunda yang ia rindukan.

Akan tetapi, beliau sudah tiada, wafat karena melahirkan adik terkecilnya.

Beberapa hari belakangan ini adalah puncak kegelisahan bagi Qayyima. Ia seolah terjun bebas ke titik terendah dari hidupnya. Hari-hari ini ia merasa payah karena rindunya yang menyesakkan dada.

Akhirnya, pelariannya adalah buku Sejarah. Sejarah seperti suntikan energi untuknya.

Mata Qayyima yang cantik terus menatap barisan kata di lembaran buku Sejarah-nya. Sesekali ia memandang jam dinding polos yang terpampang di depan kelas, di atas papan tulis. Sudah pukul sembilan kurang seperempat, belum datang juga pengajar mata pelajaran pertama. Ia menghela napas sejenak. Ia pun akhirnya kembali berasyik masyuk menyelami kisah terjadinya Perang Dunia II, ia meneruskan bacaannya.

Di dalam kepalanya seperti sedang berputar rol film panjang tentang Perang Dunia II. Pikirannya mundur ke zaman itu. Semua bersusun rapi. Yang paling membuatnya tak tahan adalah bagaimana saat Hiroshima dan Nagasaki diluluhlantakkan dengan bom atom kiriman Amerika Serikat.

Ada yang merusak keteraturan itu.

Di awal yang ada di dalam kepala Qayyima adalah kehidupan normal masyarakat Jepang, bersua, bercengkerama, dan berbincang. Anak-anak kecil bermata sipit sedang bermain riang. Saudagar tenun menawarkan jualannya kepada orang-orang yang lewat. Ada yang naik kereta kencana juga, besinya tersampirkan ke punggung dua ekor kuda berbulu cokelat.

Lihat selengkapnya