2015
"Kemarilah, Dik, mendekat pada kakak! Akan kubuatkan sebuah cerita yang akan menjadi cerita kita berdua, tulisanku dan gambarmu. Kita buat dunia tahu tentang kita," lirih Sarah, mengusap rambut adiknya.
"Rangkul aku dan kuatkan! Kita tidak akan pernah terpisahkan lagi." Tapi Jured diam saja. Dia tak mau merangkul Sarah, karena mereka memang tak bisa bersama lagi.
Sarah bersimbah air mata di depan jasad Jured, adiknya yang kini telah pergi untuk selamanya. Pergi dengan membawa semua rasa kecewa akibat janji-janji yang telah dia beri, tapi tak pernah ditepati.
Kini, betapa pun inginnya Sarah untuk mewujudkan mimpi mereka berdua, kesempatan itu sudah tak ada lagi.
Ketika seorang wanita harus memilih antara suami dan saudara, manakah yang harus dipentingkan? Dalam ajaran agamanya, Sarah harus lebih mendahulukan kepentingan suaminya dibanding yang lain. Namun dia melakukan kesalahan fatal dalam menjalaninya.
Semua perabotan di ruang tamu dan ruang tengah sudah dipindahkan ke teras, diganti dengan hamparan tikar serta permadani. Siang tadi, setelah jasad Jured dikebumikan, Pak Toha, ketua masjid, memberitahukan bahwa nanti malam rombongan jemaah masjid akan datang berkunjung untuk takziah ke rumahnya.
Dan malam itu, sesuai yang telah dijanjikan, rombongan jemaah masjid ramai mengunjungi rumah Sarah. Ibu-ibu masih mengenakan mukena sementara jemaah pria memakai sarung dan baju koko serta peci. Para tetangga dekat maupun jauh juga ikut berdatangan dengan rombongan itu.
Sebuah meja kecil dengan kursinya telah diletakkan di tengah ruangan, sebagai tempat untuk ustadz saat menyampaikan tausiah.
"Semua yang telah terjadi adalah takdir! Takdir seorang anak manusia telah ditentukan sejak dia masih dalam kandungan ibunya. Termasuk takdir mengenai ajal. Kapan, di mana dan dengan cara seperti apa. Beruntunglah almarhum, pergi dalam keadaan baik-baik saja, semoga beliau husnul khotimah. Tidak seperti yang ada di pemberitaan media-media, pergi dengan cara yang tak diharapkan. Nauzubillah.”
Ustadz yang datang bersama rombongan jemaah masjid untuk menjenguk ke rumah Sarah mengisi tausiah malam itu, menguraikan kajiannya dengan suara lembut, ingin menghibur si tuan rumah yang sedang berduka. Ustadz itu tidak sadar, sebongkah hati tengah melolong penuh penyesalan. Penyesalan yang begitu dalam. Walau ustadz itu mengucapkannya dengan kata-kata yang dipilih sebaik mungkin, tapi tetap menyakitkan di hati Sarah.
Kalau sudah ditentukan caranya, kenapa mesti aku? kenapa mesti lewat tanganku? Kenapa harus aku yang jadi penyebab kepergiannya? Bukankah dengan demikian sama saja caranya dengan orang-orang yang ada dalam pemberitaan media, meninggal dengan cara dibunuh. Dan yang membunuhnya adalah aku, kakak kandungnya sendiri! Benarkah ini takdir bahwa aku yang harus menyudahi riwayat hidup adikku sendiri? Kalau pun dia harus pergi secepat ini, kenapa bukan karena suatu penyakit berat yang menggerogotinya, yang tak mampu lagi ditahankannya, sehingga harus dirawat di rumah sakit dengan begitu banyak selang infus ditubuhnya, dengan demikian, aku bisa rela melepas kepergiannya dari pada melihatnya menderita, seperti yang terjadi pada ibu dulu? Air mata Sarah kembali mengucur di wajahnya. Hinanya aku! Apa yang harus kukatakan pada ayah dan ibuku nanti bila kami bertemu lagi di akhirat? Dan seperti apa nanti keadaannya saat aku bersua kembali dengannya? Tentu itu akan menjadi kecewanya untuk yang ke sekian kalinya padaku. Mungkin dia akan berkata “Ternyata Kakak adalah kakakku yang paling jahanam di antara semuanya.”
“Oh, ya Allah, sungguh aku telah zalim dan melampaui batas. Ampunilah hamba-Mu ini. Duhai adikku, maafkanlah aku, kakakmu yang durjana.” Teramat sangat lirih suara Sarah mengiba, memohon ampun. Seluruh tubuhnya berguncang menahan sesak.
Tak usahlah kau tersedu sedan! Periksa hatimu lagi, benarkah kau menyesalinya. Sungguh-sungguhkah sedihmu itu? Seolah ada yang berbisik di telinga Sarah, melaknatnya. Kata-katanya begitu menohok. Seakan mempertanyakan matanya yang telah sembab akibat menangis. Mana mungkin aku tidak bersedih. Kehilangan adikku tercinta yang dulu selalu ada untukku, jadi tempat curahan hatiku dan yang siap membelaku mana kala ada yang mengganggu. Tapi sang kenyataan tidak percaya tangis sedihnya. Dia telah mengetuk palu bahwa Sarahlah yang membunuh adiknya.
Munafik! Ini kan, yang kamu mau?
“Tidaaak ...!” Hampir saja Sarah berteriak sekeras-kerasnya, kalau saja dia tak segera ingat keramaian orang sedang duduk di rumahnya. Sehingga bantahan itu hanya berkecamuk dalam hatinya saja.