Malam itu benak Sarah dipenuhi tanda tanya, hingga dia sulit memejamkan mata. Dosa apa kira-kira yang telah dilakukan Jured. Apa yang telah dilakukan adiknya selama ini? Sulit bagi Sarah membayangkan Jured, adiknya yang selalu manis dan polos sanggup berbuat yang tidak-tidak di belakangnya.
Apakah memang dia tidak percaya padaku sehingga tidak mau menceritakan “dosa”nya? Bagaimana pun dia mengalihkan pikirannya, tapi karena rasa penasarannya yang begitu besar, ujung-ujungnya dia kembali teringat hal itu.
Hingga besoknya Sarah bangun sedikit kesiangan. Setelah bersiap-siap, Sarah pamit pada ibunya.
“Nanti kamu mampir ke rumah makan, ya. Mungkin ibu tidak masak hari ini,” pesan Zainab sebelum Sarah ke luar dari kamarnya.
Sarah membalik badan, menatap ibunya lekat-lekat. “Ibu, baik-baik saja, kan?” Lalu dia mendekat kembali pada wanita yang telah melahirkannya itu. Meletakkan tangan di dahi ibunya.
“Tak apa, Bu. Ibu tak usah khawatir. Hanya, kalau Ibu sakit, aku bisa mengantar ibu ke puskesmas sebentar. Soal makan, itu gampang! Tidak usah Ibu pikirkan.”
“Tidak apa-apa. Kemarin penglihatan ibu agak berkunang-kunang. Pulang dari warung sempoyongan. Mungkin ibu kurang istirahat.”
“Tapi itu bahaya, Bu. Ayo, aku antar sekarang,” desak Sarah sambil menarik tangan ibunya.
“Sudahlah, ibu akan baik-baik saja,” jawab Zainab sambil melepaskan tarikan tangan anak gadisnya. “Ibu hanya butuh istirahat, makanya ibu beri tahu dari sekarang, supaya pulang nanti kamu tidak kecewa kalau tidak ada lauk di lemari. Lauk kemarin tinggal sedikit, tidak akan cukup sampai malam.”
Sarah akhirnya menyerah, karena dia tahu ibunya memang keras kepala seperti dirinya.
“Benar, Ibu baik-baik saja?”
“Iya. Kamu tidak perlu khawatir. Pergilah, hari sudah semakin siang, nanti telat, berantem lagi dengan Yudi,” jawab Zainab meyakinkan Sarah.