KANVAS KOSONG

syafetri syam
Chapter #6

Keluarga Sarah, Bukan Keluarga Cemara

1985

Sarah adalah anak sulung dari lima bersaudara. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Sarah tidak pernah mendapat perlakuan istimewa dari kedua orang tuanya. Bahkan dia sudah mendapat tanggung jawab sejak kecil untuk membantu mengasuh adik-adiknya. Di suatu sore, Sarah yang saat itu masih berusia sembilan tahun, dipanggil ayahnya.

“Sarah tunggu di rumah, ya! Jaga adik-adikmu, jangan sampai main di luar.” Usman mewanti-wanti.

“Ayah mau ke mana?” tanya Sarah yang melihat Usman sudah berpakaian rapi dan menjinjing sebuah tas pakaian berukuran sedang. 

“Ayah mau menjemput ibumu ke rumah sakit. Hari ini adik sudah bisa dibawa pulang. Jangan lupa pesan ayah tadi, ya!” kata Usman sambil mengusap kepala Sarah dan mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Sarah hanya mengangguk kecil sambil menutup pintu dan melambaikan tangan pada ayahnya dari balik jendela. Kemudian dia bergabung dengan kedua adiknya untuk ikut bermain.

Waktu itu, keluarga mereka sedang dalam masa kejayaannya. Mereka tinggal di sebuah rumah berwarna putih yang besar dan bagus serta mempunyai pekarangan belakang yang sangat luas. Lantai rumah itu dilapisi marmar. Ruang tamu dan ruang tengahnya yang menghadap ke halaman belakang, di kelilingi jendela kaca dari dinding atas sampai ke bawah. Demi keamanan, kaca jendelanya juga dilapisi teralis besi. Jendela besar itu membuat cahaya matahari masuk dengan leluasa menerangi rumah mereka. Sarah begitu menyukai rumah itu, bahkan hingga dewasanya, rumah itu tetap adalah yang terindah menurutnya. 

Sebelum ini, keluarga mereka tinggal di sebuah rumah petak yang sempit. Dia dan adik-adiknya harus berbagi kamar bahkan tempat tidur. Setelah pindah ke rumah itu, dia bahkan bisa punya kamar tidur sendiri. Rumah itu punya dua kamar mandi serta memiliki paviliun di belakang. Sehingga bila ada saudara yang datang dari jauh bisa menginap di sana. 

Waktu mereka tinggal di rumah petak, ayah Sarah bukannya tidak punya uang, tapi Usman punya prinsip, bila ada uang lebih, putar dulu untuk modal kerja. Masalah rumah dan kendaraan, bisa belakangan. Prinsipnya itu terus dipegang sampai saat mereka terpaksa harus pindah karena si empunya rumah petak meminta mereka mencari rumah lain sebab dia ingin merenovasi bangunan rumahnya. 

Sarah sangat bersyukur dengan “pengusiran” itu karena dengan demikian, dia bisa merasakan tinggal di rumah yang bagus. Dan tidak lagi menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya seperti saat mereka masih tinggal di rumah petak itu. Sarah ingat betul kejadiannya. Ketika bus sekolah datang menjemput dia dan Yudi adiknya, tiba-tiba seorang anak perempuan yang berada dalam bus tersebut langsung berteriak. 

“Hai lihat! Rumah si Sarah jelek banget.” Ternyata anak perempuan itu adalah si Gema, teman sekelasnya yang pandai memprovokasi. Ejekan Gema membuat teman-temannya yang semula asyik berkelakar jadi memperhatikan rumah Sarah lalu ikut menertawakannya. Sarah merasa malu dan kesal, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela dirinya selain diam. Terkadang dia berpikir mengapa ayahnya harus memasukkannya ke sekolah anak-anak orang kaya itu. Sementara rumah mereka seperti itu adanya. Hal ini membuatnya kesal karena harus merasakan ejekan teman-temannya. Sarah tahu, seharusnya dia bisa punya rumah yang lebih bagus dari rumah temannya yang lain.

Sarah memang bersekolah di tempat orang-orang kaya menyekolahkan anaknya. Sebenarnya, tidak semua orang tua temannya adalah orang kaya. Ada juga yang bekerja sebagai karyawan biasa. Tapi karena mereka ingin anaknya mendapat pendidikan terbaik, maka mereka berusaha semampunya menyediakan dana untuk itu. Walau terkadang harus melakukan penghematan pengeluaran.

Seperti teman Sarah yang bernama Gema itu. Kedua orang tua Gema bekerja sebagai pegawai pemerintahan yang masih strata awal dan dia sendiri adalah anak tunggal, sehingga orang tuanya mampu menyekolahkannya di sekolah yang mahal itu. Gema sering melakukan pemalakan terhadap Sarah dengan meminta uang jajannya. Walau Sarah sering kesal, tapi terkadang dia merasa kasihan juga. Sebab, bila Sarah tidak memberinya, maka Gema tidak belanja sama sekali saat jam istirahat sekolah. Sarah tidak tahu, apakah Gema benar-benar tidak diberi uang belanja oleh orang tuanya atau uangnya sudah habis dibelanjakan sebelum jam pelajaran dimulai. 

Sedangkan ayah Sarah adalah seorang pemilik perusahaan yang punya banyak karyawan. Maka tidak sulit bagi Usman, untuk sekadar membiayai Sarah berdua adiknya sekolah di sana. 

Lihat selengkapnya