KANVAS KOSONG

syafetri syam
Chapter #7

Pindah Lagi

Lima tahun sudah keluarga Usman leluasa tinggal di rumah besar yang nyaman itu. Tiba-tiba pemilik rumah menelepon, meminta mereka segera pindah. Zainab yang duduk menguping pembicaraan suaminya dengan pemilik rumah di seberang telepon, melirik suaminya itu dengan kesal. Pemilik rumah hanya memberi mereka waktu dua minggu untuk pindah, dengan alasan anaknya yang baru menikah di kota lain ingin segera pindah ke sana dan menempati rumah itu. 

Zainab merasa kesal pada pemilik rumah yang hanya memberi tenggat waktu sedikit. Tapi dia lebih kesal lagi pada suaminya yang lebih mementingkan pekerjaan dari pada kepentingan keluarga, terlebih saat Usman mengatakan tidak punya waktu untuk mencari rumah sewaan yang lain. Bukankah pekerjaan itu tujuan utamanya adalah untuk kebahagiaan keluarga. Lalu mengapa bukan kesejahteraan keluarga yang diutamakan? Kalau punya rumah sendiri, tidak ada yang bisa mengatur-atur kita dan juga tidak perlu repot harus pindah. Seolah tak lekang kalimat itu dari otaknya.

Membayangkan dia harus mengemas barang-barang yang begitu banyak dan memasukkan ke kardus, sudah membuat Zainab letih. Belum lagi nantinya juga harus membongkar dan menyusun kembali bila sudah sampai di rumah berikutnya.

Akhirnya dengan meminta bantuan temannya, Usman berhasil menemukan rumah berikutnya untuk mereka tempati. Walau tidak sebesar rumah yang mereka tinggalkan, setidaknya, rumah itu masih cukup besar untuk menampung mereka sekeluarga.

Sarah yang waktu itu telah duduk di bangku SMA, membantu ibunya membongkar dan menyusun barang-barang. 

“Begitulah ayahmu,” kata Zainab, memecah kebisuan di tengah kekacauan barang-barang yang harus dia dan anak gadisnya bereskan. “Tidak pernah memikirkan betapa repotnya melakukan pekerjaan seperti ini.”

“Iya, Bu. Tapi, setidaknya kan, tidak setiap tahun juga kita pindahan,” jawab Sarah. Kalimat Sarah yang terkesan membela ayahnya itu membuat Zainab sedikit emosi.

“Iya, kamu baru kali ini merasakan susahnya. Belum lagi, merasakan panasnya kuping begitu mendengar kalimat orang yang punya rumah saat meminta kita untuk pindah dari rumahnya. Seolah kita menumpang gratis di sana. Padahal kita bayar sesuai yang mereka minta,” kata Zainab lagi dengan suara yang sedikit tinggi. 

“Maaf, Bu. Aku ngga bermaksud membuat Ibu marah,” rajuk Sarah.

“Iya." Zainab merendahkan kembali suaranya. "Tapi, maksud ibu tuh sebenarnya, seharusnya ayahmu itu berpikir untuk mau punya rumah sendiri. Jangan tiap ditanya, uangnya selalu untuk modal kerja. Kerja itu tujuannya untuk apa? Untuk kebahagiaan keluarga, kan? Kenapa bukan hal yang membuat keluarga bahagia yang diutamakan ayahmu?” Zainab memuntahkan semua uneg-uneg pada anak gadisnya yang telah mulai beranjak dewasa. Sekaligus untuk memberi pelajaran bila suatu saat nanti dia berkeluarga.

Sarah diam saja, walau dalam hatinya membenarkan semua yang dikatakan ibunya, tapi dia takut bila perkataannya akan membuat ibunya kembali emosi.

   ***

Hari itu Usman pulang dari tempat kerja dan memberi tahu Zainab bahwa adiknya Anwar akan pindah ke kota ini. 

“Lalu,” tanya Zainab. Perempuan itu seolah mengendus berita yang tidak menyenangkan.

“Iya, aku hanya memberi tahu, bahwa dia akan bergabung kerja di sini!”

“Maksud Abang “bergabung” apa? 

Lihat selengkapnya