KANVAS KOSONG

syafetri syam
Chapter #8

Bangkit Kembali

Usman bangkit. Dia tidak bisa membuat keluarganya ikut terpuruk dalam kubangan kekalahannya. Apalagi melihat kondisi Zainab sekarang. Hampir setiap hari melamun. Tersenyum pun seperti dipaksakan dan bila ditanya, jawabnya hanya satu atau dua patah kata. 

Sekaranglah baru dia menyadari seberapa pentingnya ucapan istrinya, dan betapa buruk apa yang telah ia lakukan, merusak mimpi istrinya sendiri. Sebuah impian sederhana, untuk memiliki rumah sendiri. Agar tak ada lagi orang yang sewenang-wenang terhadap mereka. 

Dan juga bahwa usaha yang dikejarnya mati-matian selama ini tidak membuahkan hasil. Kebahagiaan apa yang bisa diraihnya saat semua telah hancur berantakan. Apa lagi yang bisa diberikannya untuk membahagiakan wanita yang paling dicintainya itu. 

Bagaimana pun, ini semua adalah salahnya. Dia harus bisa membayar kembali semuanya. Walau dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya, yang penting tekat untuk itu harus ditanamkannya terlebih dahulu. 

Dia berkeliling, menyisiri setiap sisi ruang kerjanya. Seolah mencari serpihan yang masih tersisa. Semua kejayaan yang pernah dicapainya seolah masih ada di sana. Tapi hanya seperti fatamorgana.

Ruang kerja itu sebenarnya lebih seperti ruang kosong. Hanya ada dua ruangan. Ruang kantor untuk menerima klien dan satu ruangan lagi yang lebih besar untuk tempat menyimpan peralatan dan sebagai ruang istirahat juga. Selebihnya adalah ruangan lepas berdinding tembok dan sebagian lagi adalah seng tebal, tempat semua proyek dikerjakan. Sisa-sisa proyeknya masih berbaris di dinding dalam berbagai kondisi. Ada yang rampung sempurna, ada yang setengah jadi, dan ada juga yang belum dikerjakan sama sekali.

Bunyi derap langkah seseorang mengagetkannya. Sebuah bayangan memasuki ruang yang terbuka lebar itu. Silau cahaya dari luar membuat dia tidak bisa melihat dengan jelas siapa sosok yang datang. Ketika orang itu semakin mendekat, barulah dia mengenalinya. Ramli, teman lama yang uangnya juga dia pinjam sebagai modal mengerjakan proyek tempo hari. Usman memang lebih memilih meminjam uang teman dari pada harus meminjam ke bank, dengan segala pertimbangannya.

Hatinya ciut, tapi Usman pasrah. Bila Ramli menagih hutangnya saat ini, dia benar-benar tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan sebagai pembayar hutang. Bahkan mobilnya pun telah ditarik Ramli saat dia kesal karena tahu Usman bangkrut dan tak mungkin bisa membayar hutang dalam tempo yang sesuai perjanjian mereka. 

“Masih ada proyek?” Ramli membuka suara sambil mengamati sekeliling, nada suaranya tidak ramah. Kalimatnya pun tidak terdengar serius. Lebih hanya sekadar basa-basi.

“Seperti yang terlihat, belum satu pun!” jawab Usman datar.

“Lalu bagaimana?”

“Bagaimana ... apanya?”

“Ya ... urusan kita, hutang piutang.”

“Bisa kamu lihat. Sekarang hanya ada aku sendiri. Semua karyawan kurumahkan, entah untuk sampai kapan, karena aku sudah tak punya uang lagi untuk membayar gaji mereka. Dalam keadaan seperti ini, bagaimana bisa aku membayar hutangmu? Kalau kau tega, sita saja semuanya,” kata Usman, mulai emosi.

“Jangan begitulah, kawan! Aku tak bermaksud menambah bebanmu dengan datang ke sini.”

“Lalu?”

“Kau tahu? Aku kan juga punya hati. Aku ingat lagi apa yang sudah kulakukan tempo hari padamu. Rasanya aku sudah berlaku zalim dengan membawa mobilmu sebagai sitaan. Aku merasa tak ubahnya seperti rentenir kejam yang tak punya hati.” Ramli menyandarkan tubuhnya ke dinding, kedua tangannya bersedekap ke dada, sementara satu kakinya menyilang. Pandangannya seolah ingin menembus lantai. Untuk sesaat, mereka berdua terdiam.

Lihat selengkapnya