Sepuluh tahun sudah mereka tinggal di rumah itu. Untuk ke sekian kalinya Zainab harus merasakan lagi hal yang sama dari setiap pemilik rumah yang mereka sewa. Kali ini rasa getir didapatnya, dengan cara si pemilik menaikkan sewa rumah yang hampir dua kali lipat dari sebelumnya.
“Ya, kalau kalian tidak mau, silakan cari rumah kontrakan yang lain. Adik saya ada yang akan menunggui rumah ini,” tegas pemilik rumah, saat ayah Sarah mengajukan keberatan.
Usman memang merasa keberatan, karena di waktu bersamaan, pemilik tempat usahanya mengatakan akan menjual tempat itu, dan calon pembelinya pun sudah ada. Para pemilik tempat itu memberi mereka waktu sampai akhir bulan, untuk berpikir atau untuk mencari tempat tinggal dan tempat usaha berikutnya.
“Benarkan, apa yang kubilang. Kita seperti tak punya harga diri dikata-katai seperti ini. Coba saja kalau punya rumah sendiri, walau kecil sekali pun, tak akan ada yang berani mengusik kita.” Zainab menggerutu sendiri di belakang. Dia teringat dengan uangnya yang dipakai Usman untuk modal kerja dulu. Padahal saat itu, hanya tinggal sedikit lagi, uangnya akan cukup untuk membeli rumah yang ditaksirnya.
Sebenarnya, Zainab ingin membeli rumah yang kini sedang mereka tempati itu. Sekiranya pemilik rumah mau memberinya tenggang waktu beberapa lama lagi baginya, untuk mengumpulkan uang. Karena rumah itu begitu banyak menyimpan kisah keluarganya, agar bisa selalu diingatnya dan sebagai bukti cerita untuk cucu-cucunya kelak. Tapi pemilik rumah tidak bersedia dengan alasan yang tidak disebutkannya.
Secara kebetulan pula, beberapa hari setelah itu, Wahyu, keponakan Zainab datang berkunjung. Wahyu yang anggota angkatan bersenjata ini datang bersama teman-temannya. Lengkap dengan pakaian dinas yang mengeluarkan aura gagah pada pemakainya. Bukan suatu hal yang biasa, karena biasanya dia bertandang pada hari libur bersama istri dan anak-anaknya.
Wahyu masuk setelah menanggalkan sepatu bot PDL (Pakaian Dinas Lapangan)-nya. Teman-temannya yang lain ada yang menunggu di teras, ada juga yang ikut masuk dengan tetap mengenakan sepatunya.
Sarah merasa tidak suka dengan teman-teman kakak sepupunya itu, yang masuk begitu saja tanpa melepas sepatu. Karena dialah yang bertugas menyapu dan mengepel lantai. Dan baginya, attitude itu penting, tanpa pandang bulu, apakah dia orang penting atau bukan. Apa salahnya mereka menghargai tuan rumah? Karena itu dia memasang muka cemberut dan memberi tatapan tajam. Tapi teman Wahyu pura-pura tidak tahu, mereka menganggap seolah Sarah tidak ada di sana. Dengan kesalnya, Sarah masuk ke kamar dan membiarkan Zainab sendiri yang bicara dengan Wahyu.
Kedatangan Wahyu bermaksud menawarkan sesuatu, seolah dia tahu apa yang menjadi kebutuhan penting di keluarga tantenya itu saat ini.
“Begini Tante. Tante kan selama ini mengontrak kan, ya? Baik rumah maupun tempat kerja om.”
“Iya, betul,” jawab Zainab.
“Jadi, tanah milik korps kami masih ada yang kosong.” Wahyu mulai semangat menerangkan maksud kedatangannya.
“He eh ....” Zainab mulai menebak arah pembicaraan Wahyu.