Pagi itu, layaknya dalam situasi darurat perang, keluarga Usman mengadakan rapat pembagian tugas. Jured dan Al telah berangkat ke sekolah mereka masing-masing. Zainab berdua Sarah yang baru saja menyelesaikan kuliahnya, mendapat tugas mencari rumah kontrakan berikutnya. Yudi dan Ilham meneruskan pekerjaan sebagaimana biasanya. Sementara Usman sendiri akan menghubungi Wahyu. Ingin mengajukan komplain mengenai rawa-rawa yang ada di tanah yang mereka sewa.
“Wah, kalau itu saya sama sekali tidak tahu, Om. Bukannya Om waktu itu sudah saya bawa ke sana sebelum perjanjian itu kita sepakati. Dan Om sama sekali tidak keberatan.”
“Nah itu dia. Karena saya tidak menyangka sama sekali kalau di tanah itu ada rawanya, dalamnya juga ngga kira-kira.”
“Om pikir saya mau menipu, ya?” Wahyu menunjukkan rasa tersinggungnya.
“Bukan begitu juga,” jawab Usman meredam emosi Wahyu dengan merendahkan suaranya.
“Sekarang begini deh, Om. Om lihat sendiri kan, masih di deretan tanah yang Om sewa, yang bagian paling depan itu,” kata Wahyu menunjuk ke arah rumahnya yang memang terlihat dari tempat yang disewa Usman. “Itu adalah rumah dinas saya dan teman-teman seangkatan, Om. Om sih, ngga pernah mampir ke rumah saya, jadi ngga tahu seperti apa kondisi rumah kami.” Wahyu melirik Usman dengan ekor matanya sambil menekankan kekecewaannya kenapa Usman tidak pernah datang untuk bersilaturahmi ke rumahnya dengan alasan sibuk bekerja. Padahal dia begitu sering datang ke rumah Usman, dia mengharapkan Usman mau sesekali meluangkan waktu untuk melihat kondisi keluarganya di rumah itu. “Nah, di rumah itu, kami juga diizinkan menggunakan pekarangan belakangnya sejauh apa pun yang mampu kami garap. Dan di sana, saya tidak mendapati adanya rawa sesenti pun. Makanya, saya pikir akan sama saja keadaannya di sini dengan di rumah saya. Ya, mana saya tahu kalau ternyata di sini ada rawanya.”
“Ya ... kalau begitu mungkin ini sudah nasib kami,” kata Usman pasrah.
“Tapi Om tenang saja. Bila nanti ada kesewenang-wenangan mengenai masalah sewa menyewa, atau bila ada pungli-pungli tak jelas, saya akan turun tangan mengatasinya,” janji Wahyu, yang sedikit menenangkan perasaan Usman. “Tapi kalau masalah rawa ini, saya benar-benar minta maaf, saya memang tidak tahu sama sekali.”
Usman tak punya pilihan lain. Perjanjian pun tak mungkin dibatalkan. Maka mau tak mau pembangunan harus kembali dilanjutkan, walau banyak rencana awal yang mesti dibatalkan karena keterbatasan dana.
Tempat kerja itu masih belum rampung sepenuhnya. Tapi atas desakan pemilik tempat yang lama, mereka harus segera pindah dan menempati tempat itu dengan kondisi apa adanya.
Sementara itu, pencarian Zainab dan Sarah juga tidak berjalan mulus. Setiap lokasi sudah mereka kunjungi. Tapi tetap saja belum menemukan rumah yang mereka cari, yang sesuai kebutuhan dan dana yang tersedia. Mereka hampir menyerah begitu Mahfud, teman Usman yang tinggal tak jauh dari sana mendatangi rumah mereka dan mengabarkan bahwa rumah yang ada di dekat rumahnya sedang disewakan. Hanya berjarak dua rumah dari rumah Pak Mahfud.
“Rumah itu baru sebulan ditempati oleh seorang dokter beserta keluarganya. Tapi karena dokter itu mendapat tawaran kerja ke luar kota, maka dia terpaksa pindah. Dan menitipkan kuncinya ke saya. Cobalah kalian lihat dulu, semoga rumah itu cocok dengan kriteria yang dicari," kata Mahfud sambil menyerahkan kunci rumah itu.
Sarah dan Zainab mendatangi rumah yang dimaksud oleh Mahfud. Dan dia meloncat kegirangan karena rumah itu benar-benar sesuai dengan harapannya, harga sewanya juga tidak lebih mahal dari rumah yang sedang mereka tempati. Selain ukuran yang besar dan memiliki kamar yang cukup, rumah itu juga memiliki halaman belakang seperti rumah yang dulu pernah mereka tempati, walau halaman rumah yang ini tidak sebesar di rumah yang dulu. Bagi Sarah, halaman belakang itu penting. Karena dia bisa keluar dari rumah dengan tetap mendapatkan privasi.
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk pindah ke rumah itu. Semuanya seperti sebuah perubahan besar dalam waktu yang singkat. Sayangnya, Sarah tidak bisa berlama-lama menikmati rumah barunya, karena ayahnya meminta dia untuk ikut membantu Yudi dan Ilham bekerja.
“Bantu apa yang kamu bisa di sana, setidaknya pastikan, uang dapur dan tabungan untuk ibumu serta pembiayaan lainnya ada.”
“Bukannya ayah juga di sana untuk itu? Mengapa harus aku,” tanya Sarah berusaha untuk mengelak.
“Kamu mau atau tidak?” Usman meninggikan suaranya, dia tidak suka bila Sarah membantah. Walau kerja di sana tidak sesuai dengan yang ada dalam angannya, yaitu kerja di kantor sebuah perusahaan bonafid, terpaksa Sarah menuruti perkataan ayahnya.
Besoknya Sarah masih malas-malasan di kamarnya. Zainab mendatanginya, “Sarah, ayahmu sudah menunggu, buruan!”
“Suruh ayah duluan, Bu! Nanti aku ke sana sendiri,” jawab Sarah.
Sarah berusaha menyesuaikan diri di tempat kerja ayahnya. Pembangunan tempat itu sudah hampir sepenuhnya rampung. Hanya tinggal memplester tembok di luar bagian belakang. Setelah itu selesailah sudah.