Jured bersekolah di salah satu SMA swasta yang memiliki akreditasi biasa-biasa saja. Sehingga peraturan di sekolah itu tidak begitu ketat. Begitu juga guru-gurunya, terkesan santai dalam mengajar. Para guru di sana pada umunya adalah guru-guru muda yang baru menyelesaikan kuliahnya. Karena usia mereka tidak terpaut jauh dengan para murid, sehingga mereka merasa seperti sedang mengajar adik sendiri. Tak jarang pula guru yang menjadi akrab dengan muridnya. Seperti hubungan antara Jured dan guru matematiknya yang oleh teman-temannya biasa dipanggil Pak Tiger. Karena dia selalu mengendarai motor “Tiger” setiap kali datang ke sekolah.
Di kelasnya, Jured duduk di bangku paling belakang. Sederet dengan anak-anak nakal dan begajulan. Tidak seperti anak-anak yang lain, walau dia bersebelahan duduk dengan anak-anak itu, tapi dia tidak terbawa arus dengan mereka. Bila yang lain membuat keributan saat jam pelajaran kosong, Jured tetap saja duduk tenang di bangkunya, menggambar apa pun yang terlintas di benaknya.
Sikapnya ini semula diacuhkan oleh teman-temannya. Tapi lama kelamaan mereka mulai tertarik untuk mengetahui apa yang sedang dibuat Jured salah satunya adalah teman perempuannya yang bernama Silvi.
“Lagi menggambar apa, Bangko?” tanya Silvi, teman sekelas Jured, yang sedikit tomboi dan berani.
Jured memang memiliki nama panggilan khusus di kelasnya atau di antara teman-teman sekolah yang mengenalnya. Bangko sendiri diambil dari nama belakangnya, Jured Komara, digabung dengan panggilan “Abang” karena waktu SD dulu Jured pernah tinggal kelas, maka usianya memang lebih tua dibanding murid lain yang sekelas, sehingga mereka memanggil Jured dengan embel-embel “Abang” di depan namanya, maka jadilah Abang Komara atau disingkat “Bangko”.
“Ini, gambaran kekacauan hari ini,” jawab Jured. Dia menambahkan sedikit arsiran lagi sebelum mengangsurkan gambar tersebut ke hadapan Silvi. Gadis itu menutup mulutnya dengan sebelah tangan untuk menahan tawanya, matanya berbinar. Lalu dia menyorakkan pada teman-teman yang lain untuk datang melihat gambar tersebut.
“Wooiii ... lihat niih, siapa yang lagi terjengkang tadi pas rebutan tiket nonton gratis?" Teriak Silvi. Semua yang mendengarnya langsung berlari menghampiri, lalu tertawa sambil menunjuk Riko, sang lakon yang ada dalam gambar.
“Bangko, aku minta gambarnya, ya,” pinta Silvi. Jured meraih bukunya, dan merobek halaman yang terdapat gambar tadi lalu memberikannya pada Silvi, kemudian melanjutkan dengan membuat gambar yang lain.
Gadis itu sebenarnya sudah lama menaruh suka padanya. Tapi Jured pura-pura tidak tahu. Silvi tidak mau terlalu mengumbar perasaannya karena takut kecewa. Dia lebih memilih menyimpan harapan dalam hati semoga suatu saat nanti Jured akan menyadarinya. Karena baginya, cinta yang sungguh dari dalam hati, bila ditolak, sakitnya akan tak terperikan. Beda dengan cinta monyet, ditolak pun dia akan bisa tertawa terpingkal-pingkal. Untuk itulah dia sering memberi perhatian-perhatian kecil pada Jured, seperti menanyakan kabar atau melihat apa yang sedang dilakukannya seperti yang terjadi tadi.
Bersamaan dengan itu, Pak Tiger masuk. Seketika murid-murid berhamburan menuju tempat duduk masing-masing, walaupun mereka tahu guru yang satu itu tidak akan marah.
“Lagi ngapain? Seru sekali kelihatannya,” tanya lelaki dua puluh tujuh tahun itu. Tak ada seorang pun yang menjawab. Bukannya mereka takut, hanya tidak tahu harus menjawab apa, karena kekacauan yang mereka buat tadi begitu random, tidak jelas juntrungannya. Mereka hanya saling berbisik dengan kawan sebangku masing-masing. Sementara Jured, sedang fokus merampungkan gambarnya dan tidak menyadari kehadiran gurunya itu. Melihat Jured yang beda sendiri, Tiger mendekatinya.
“Apa ini?” tanyanya sambil memutar buku tulis yang dicoret Jured, menghadap ke dirinya. Dia mengamati gambar yang belum sempurna itu.
“Nanti, kalau sudah siap, buat saya, ya? Cocok gambar ini sama nama saya, harimau, tiger.” Untuk sesaat dia masih mengamati gambar itu sambil manggut-manggut.
“Jangan yang ini, Pak. Kalau untuk Pak Tiger, nanti saya buatkan yang lebih bagus,” jawab Jured. Dia segan bila harus memberikan coret-coretannya di buku tulis itu.
“Ini juga ngga apa-apa, kok! Udah bagus banget. Tapi kalau kamu enggak keberatan, boleh juga. Saya tunggu ya!” kata Tiger lagi.
“Baik, Pak.” Jured memasukkan buku itu ke dalam tasnya dan mengeluarkan buku yang sesuai dengan yang akan diajarkan Tiger.
Beberapa hari kemudian, Jured datang ke sekolah dengan menenteng sebuah benda pipih persegi seukuran buku gambar yang terbungkus kertas kado berwarna coklat.
Begitu jam pelajaran usai, dia menyerahkannya pada Tiger. “Pak, ini gambar yang saya janjikan tempo hari,” katanya.
“Wah, jadi juga, nih. Terima kasih, ya! Boleh dibuka, ngga?”
“Tentu boleh, Pak, silakan!”
Tiger membuka bungkus benda tersebut, dan mengamati gambar harimau yang dibuat Jured pada kanvas kecil itu dengan saksama. “Wah, berbakat sekali kamu, Red!”