Pagi itu, Jured akan menemani Sarah ke tempat kerja. Dia akan menjaga Sarah dari kesewenang-wenangan Yudi. Dia tak tega melihat Sarah hampir setiap malam selalu bercerita kalau dia habis dimarahi oleh Yudi.
“Hmm ... bawa bodyguard, nih, si anak emas!” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Yudi, menyindir Sarah yang datang bersama Jured. Tapi Sarah diam saja, tak peduli dengan ocehan Yudi. Dia terus melakukan pekerjaannya. Begitu juga Jured, dia melakukan apa saja yang diperintahkan Sarah.
Emosi Yudi sebenarnya cukup stabil hari itu. Tapi karena melihat Sarah muncul dengan membawa Jured, ditambah dengan ekspresi di wajah keduanya yang terkesan kurang bersahabat, Yudi jadi merasa dimusuhi sehingga emosinya jadi tersulut. Setiap melakukan sesuatu, dilakukannya dengan kasar sehingga menimbulkan suara berisik yang menyakitkan telinga. Ilham yang sedari awal mengamati kejadian itu hanya bisa menggeleng. Sementara Jured, melihat perbuatan Yudi seperti itu ditambah lagi saat dia teringat perlakuan kakak laki-lakinya itu selama ini pada dirinya, mulai terbawa emosi. Takut dan segannya hilang. Dia bahkan sangat menunggu saatnya untuk melepaskan semua amarah yang terpendam dalam dada.
“Kenapa, mukamu seperti itu? Ngga suka?” pancing Yudi.
“Iya, aku ngga suka!”
“Oo ... pintar kau sekarang, ya? Sudah berani melawan. Kalau ngga suka, ya pergi sana, ngapain di sini?”
Jured kembali diam karena ditenangkan oleh Sarah.
“Woi, pergi sana! Kenapa belum pergi juga?” Yudi terus memancing emosi Jured sehingga Jured tidak tahan dan Sarah pun tak mampu menahannya lagi.
“Ngga perlu kau suruh aku juga akan pergi sendiri.” Dia berdiri sambil menggebrak meja dan menggeser kursi dengan kakinya sekuat-kuatnya ke belakang.
“Oo ... hebat! Kalau berani, ayo maju!” kata Yudi sambil mengambil sebuah tongkat yang ada di dekatnya. “Asal tahu aja ya, kalian itu, kalau bukan karena aku, ngga kan bisa makan. Bakal mati kalian semua, ingat itu!”
“Emangnya perusahaan ini punyamu? Kau yang maju duluan, aku ngga takut!” tantang Jured sambil mengambil ancang-ancang.
Sarah yang merasa ngeri membayangkan apa yang akan terjadi pada dua orang adiknya itu, berusaha melerai. “Sudah, Red, lebih baik kita pulang aja, ngga usah diladeni!”
Sarah mengemasi semua barang-barangnya lalu menggamit tangan Jured untuk keluar bersamanya. Sebelum dia sampai di pintu tak lupa dia mengingatkan Yudi. “Mulai besok, aku ngga akan ke sini lagi. Biar kamu bebas berbuat semaumu. Jangan lupa belanja ibu! Aku suruh Al untuk jemput.”
Seminggu sudah Sarah berhenti kerja dan tetap di rumah saja. Mengetahui Sarah yang sudah tidak lagi bekerja, Herman, tetangga mereka, lelaki yang sebaya ayahnya itu, menawari Sarah untuk mau berkerja di kantornya. Tapi Sarah menolak. Karena pemahaman bahwa perempuan yang punya penghasilan akan selalu dimanfaatkan oleh laki-laki, telah berakar kuat dalam benaknya. Sehingga dia takut tidak akan menemukan cinta sejati.
Minggu berikutnya, giliran Jured yang mendapat informasi tentang adanya lowongan pekerjaan di sebuah departement store. Tapi Sarah melarang Jured untuk ikut mendaftar.
“Kamu pengen banget, ya, kerja di sana, Red?”