Sejak kepulangannya, ayah Sarah jadi rajin sholat ke masjid. Hampir tak pernah luput sekali waktu pun dia untuk ikut sholat berjamaah. Kehadiran Usman mendapat sambutan yang hangat dari semua jamaah masjid. Seorang jamaah yang bernama Rustam bahkan sangat akrab dengannya. Kepada Rustam, Usman percaya untuk menceritakan semua kemelut hidupnya dari awal hingga sampai di titik sekarang. Tentang betapa malunya dia pada anak-anaknya setelah begitu tega meninggalkan mereka begitu saja, kini datang seolah ingin mengemis untuk menumpang hidup. Rustam yang memahami perasaan Usman, secara diam-diam membicarakan hal ini pada pengurus masjid lainnya. Setelah mengadakan rapat kecil tertutup tanpa sepengetahuan Usman, mereka bersedia memberikan tempat tinggal bagi lelaki itu di sebuah kamar yang memang telah tersedia di sana, yang mulanya dimaksudkan untuk tempat tinggal marbot masjid. Dan jamaah juga sepakat memberi uang belanja untuk Usman setiap pekannya.
Walau merasa tidak enak hati, Usman terpaksa menerimanya. Karena dia merasa lebih tidak enak lagi bila harus menjadi beban bagi anak-anaknya. Dengan demikian, untuk selanjutnya, Usman resmi menjadi penghuni masjid. Namun sesekali, dia juga datang ke rumah untuk mengunjungi Sarah dan adik-adiknya, untuk memastikan bahwa mereka baik-baik saja.
Sarah sedikit dilema dengan kondisi ayahnya. Di satu sisi, dia merasa tidak enak hati bila hidup ayahnya harus menjadi tanggungan orang lain. Sementara di sisi lain, dia sendiri juga tidak punya apa-apa untuk diberikan pada ayahnya. Apa lagi, semenjak ibunya tiada, Yudi semakin mengurangi jatah uang belanja dapur untuk Sarah.
Sementara itu, kisah percintaan Sarah juga masih belum menemukan ujungnya. Tak lama setelah mengakhiri hubungannya dengan Anton, tiba-tiba saja Edu datang. Ketika Sarah sedang membaca novel yang baru saja dibelinya, Al yang kebetulan ada di rumah, memanggilnya.
“Kak Sarah, ada yang nyariin!”
“Siapa?” tanya Sarah.
“Ngga tahu, aku ngga nanya namanya. Orangnya tinggi banget!” jawab Al.
Tinggi banget? Siapa, ya? Sarah berusaha mengingat semua lelaki yang pernah dikenalnya yang ukurannya tubuhnya “tinggi pakai banget”. Walau tidak ingat, tapi dia tetap saja keluar untuk menemui lelaki tersebut. Setelah melihatnya, ternyata wajah lelaki itu memang tak asing lagi bagi Sarah. Edu, teman kuliahnya dulu, lain fakultas. Bila dia anak ekonomi, maka Edu adalah anak teknik.
Memang, tinggi tubuhnya melebihi rata-rata lelaki pada umumnya. Itulah yang membuatnya terlihat lebih menarik selain wajahnya yang juga “lumayan” menurut standar yang ditetapkan Sarah.
“Hai, Sar, masih ingat aku, kan?” Sarah memperhatikan Edu, memasang mimik sedang berpikir keras sambil memperhatikan lelaki itu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
“Enggak, siapa, ya?” Sarah pura-pura lupa, lalu tertawa geli. Kemudian dia duduk di kursi yang ada di hadapan Edu.
“Kamu masih sendiri, Sar?”
“Enggak, adikku ada di kamarnya,” jawab Sarah, kembali berkelakar.
“Aku nanya serius.”