Hari itu cuaca begitu tenang. Bahkan sangat tenang menurut Sarah. Gadis itu berdiri di halaman belakang rumahnya setelah selesai menjemur pakaian. Seekor burung hinggap di tali jemuran, hanya sesaat, kemudian kembali terbang.
Sarah berjalan ke depan, bermaksud untuk merebahkan diri di kamar karena merasa sedikit lelah. Belum sampai di tempat tidurnya, sekonyong-konyong, gempa yang sangat kuat menggoyang rumahnya. Sarah terduduk di lantai dan lemari yang di hadapannya pun roboh, sekiranya tidak ada meja di depannya yang menahan, tentulah Sarah telah tertimpa lemarinya sendiri. Kini posisi Sarah berada di antara lemari roboh dan meja kerjanya. Karena gempa masih terasa, dia berlari keluar, tapi berhubung tidak menemukan jilbabnya, dia hanya berdiri di depan pintu bagian dalam sambil terus berdoa dalam hati, semoga gempa segera berhenti.
Sarah memegang kusen pintu kuat-kuat dengan satu tangannya dan tangannya yang lain menahan televisi yang terletak di lemari di depannya yang telah bergeser dari tempatnya semula dan hampir jatuh. Untunglah hanya sesaat saja Sarah berada dalam posisi demikian, dia hampir tidak kuat menahan dan ingin menyerah, saat gempa itu berhenti. Namun sayang, kulkas di dapur tak dapat diselamatkan. Kulkas besar itu roboh, menimbulkan bunyi dentuman yang sangat keras. Sarah tak tahu bagaimana nasib kulkas itu. Yang penting saat ini, dia, ayahnya dan adik-adiknya selamat.
Melihat Jured dan Al yang telah berada di luar bersama tetangga yang lain, Sarah memutuskan untuk ikut keluar, berjaga-jaga bila terjadi gempa susulan.
Setelah mengenakan jilbab dan mengganti pakaiannya terlebih dahulu, Sarah bergabung dengan tetangga yang tengah berkumpul. Melihat Sarah telah keluar, Nadia mendekatinya. Mereka saling menanyakan keadaan. “Kalau ada apa-apa, datang aja, ya, atau telepon, biar aku yang datang,” pesan Nadia.
Setelah menunggu cukup lama, dan merasa keadaan sudah mulai aman, satu persatu tetangga masuk ke rumah masing-masing karena hari mulai berangsur gelap. Sarah menyalakan lampu. Menekan sakelar lampu beberapa kali, kemudian mencoba sakelar lampu di kamarnya sendiri, tetap masih tidak menyala.
“Semua lampu di kota ini mati, Kak. Air juga!” kata Al yang melihat apa yang dilakukan kakaknya. Sarah membayangkan betapa sulitnya hidup tanpa kedua hal itu. Lilin dan lampu lentera minyak tanah dengan segera menjadi barang langka. Persediaan air mereka dengan segera menyusut, karena bak penampung air di rumah itu memang kecil. Untunglah di rumah Nadia menggunakan sumur sebagai sumber airnya, jadi Sarah meminta air ke sana untuk keperluan memasak dan mencuci seperlunya. Dalam situasi seperti itu, mandi menjadi suatu hal yang harus ditunda.
Rumah Nadia yang berada di ujung gang, sedikit jauh dari rumah Sarah, membuat dia merasa kewalahan mengangkat ember yang berisi air, untunglah di rumah Nadia ada gerobak juga, dengan meminjamkan gerobak dorong milik ayahnya, Nadia membantu Sarah mengangkut air dari rumahnya ke rumah gadis itu. Jured yang sedari awal hanya melihat saja, tergerak hatinya untuk membantu. Dengan mengesampingkan semua permasalahan di antara mereka, Jured mendekat dan menyapa Sarah.
“Sudah penuh, Kak?” tanya Jured, meminta ember yang dibawa Sarah untuk mengambil air ke rumah Nadia.
Sarah melihat bak mandi yang masih terisi seperempat. “Belum, ngga usah sampai penuh, Red, segan, kita cuma minta. Tiga ember lagi cukuplah,” kata Sarah seraya memberikan ember kepada Jured. Walau sikap Jured di luar dugaannya, tapi Sarah bersyukur, setidaknya dia melihat ternyata harapan itu ada.
Besoknya, tetangga Sarah yang lain datang membagikan lauk dan sembako. Berbagai bantuan dari banyak pihak pun terus mengalir. Al keluar bersama temannya, mencari informasi tentang gempa yang mengguncang wilayah mereka. Begitu kembali, dia bercerita, bahwa gempa yang mereka rasakan telah menimbulkan banyak korban jiwa. Banyak mayat bergelimpangan di berbagai tempat.
“Beruntung sekali di sekitar kita tidak ada korban jiwa, Kak. Di daerah pasar sana, di dalam plaza dan di dalam hotel “Ember Cang”, banyak mayat tertimbun, dan masih dalam pencarian petugas hingga sekarang. Kabarnya petugas penyelamat dari luar negeri juga akan datang untuk membantu pencarian korban,” kata Al.
Dengan gempa berkekuatan lebih dari tujuh skala richter, berita itu seketika menjadi kabar duka nasional. Berhari-hari, televisi nasional maupun swasta menayangkan beritanya.
Tentu saja, saudara Sarah dari jauh juga menanyakan kabar mereka, termasuk saudara dari pihak keluarga ayahnya yang tinggal di kampung. Mereka datang beramai-ramai, ingin melihat langsung kondisi keluarga Sarah.
Ketika itu, Usman tidak berada di sana. Lelaki itu sedang mendatangi tempat kerjanya yang telah rusak parah. Tempat usaha yang dulu dibangun dengan kembali menguras tabungan Zainab, kini hampir rata dengan tanah. Salah seorang kerabat Usman menyuruh Al untuk menjemput ayahnya itu.
“Bilang ‘penting’, ya!” Om Firman mewanti-wanti Al sebelum dia menaiki motornya. Sekelebat, Sarah menangkap gelagat yang tidak menyenangkan, tapi dia segera menepisnya.
Selama menunggu Al menjemput ayahnya, Om Firman dan yang lainnya melihat-lihat kondisi rumah mereka. Tak ada bagian rumah Sarah yang rusak kecuali tembok pembatas bagian belakang saja, itu pun hanya retak rambut.
Tak lama kemudian Al datang bersama Usman. Sarah membiarkan mereka bicara di depan sementara dia di belakang bersama Tante Mina, menyusun rantang makanan yang dibawa oleh rombongan itu. Begitu mereka selesai bicara, rombongan itu pun pulang.
Di tengah keadaan yang semrawut seperti itu, perasaan Sarah menjadi gundah. Ada kalanya dia sadar dan merenungi nasibnya. Seperti hari itu, perempuan tersebut menangis pilu. Bagaimana dia akan bertahan hidup dengan kondisi seperti ini, sebagai perawan tua yang tak punya penghasilan. Hidupnya menjadi tanggungan saudara yang bahkan merasa sangat keberatan dengan kehadirannya sementara jodoh pun entah kapan akan tiba. Sering kali pula dia menyesali beberapa orang di antara mereka yang pernah ditolaknya.