Setelah pertemuan itu, hati Sarah terasa tak menentu. Dia belum pernah merasakan perasaan yang seperti ini sebelumnya. Tak ada debar apa pun, hanya perasaan yang begitu tenang meliputi hatinya setiap kali dia mengingat calon suaminya. Sarah menanyakan perihal perasaannya itu pada Lusi.
[Itu karena kamu akan menikahinya. Makanya, debaran hati berubah jadi perasaan tenang. Itu juga yang dinamakan “sakinah”. Debaran aneh itu timbul di saat seseorang bertemu dengan seseorang yang bukan mahramnya, yang gunanya adalah supaya dua orang yang haram bersentuhan itu melakukan perbuatan dosa dengan berzina!]
Setelah merenungkan beberapa saat, barulah Sarah mengerti. Benar rupanya, debaran yang seperti itu memang terasa nikmat, tapi nikmat yang terlaknat.
Tanggal dan waktu pernikahan telah diputuskan. Di sinilah Sarah merasakan debaran itu, saat menghitung hari demi hari yang semakin dekat menuju hari pernikahannya. Hari berlalu tanpa terasa, hingga sampailah dia pada hari penting dalam hidupnya. Hari yang akan menjadi sejarah sekali seumur hidupnya. Dia ingin hari ini akan menjadi hari yang paling indah
Semua tamu yang datang mengucapkan selamat untuknya. Tapi banyak juga temannya yang sambil bercanda, menyindirnya, “Syukurlah, Sarah, akhirnya ....” tanpa mereka melanjutkan kalimatnya, Sarah juga tahu apa maksudnya.
Lusi yang selama ini menjadi tempat pengaduan Sarah, tidak bisa hadir. Sarah memakluminya, karena saat ini dia baru saja hamil anak kedua. Dan dia tidak mau disalahkan bila terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap Lusi bila memaksanya datang.
Di antara begitu banyak orang yang datang, Sarah mencari keberadaan Jured dengan matanya. Di sebuah pojok agak tersembunyi, akhirnya dia menemukan adiknya itu. Jured terlihat minder dengan hanya mengenakan baju kemeja lamanya. Sarah tersentak, baru menyadari kalau dia lupa membelikan baju khusus untuk Jured yang akan dikenakannya pada hari bersejarahnya ini. Dia terlalu bersemangat karena bisa terlepas dari status perawan tuanya, srhingga melupakan adiknya sendiri. Sebenarnya, bila saja dia harus memikirkan untuk semuanya, tentu Juret akan ikut terbawa, tapi adik-adiknya yang lain mengatakan bahwa dia tak perlu memikirkan mereka, karena mereka akan membeli bajunya sendiri-sendiri. Karena itu pulalah, Sarah jadi tidak berpikir mengenai Jured. Ternyata beginilah akibatnya. Ingin rasanya dia berlari mendekatinya untuk membawa Jured membeli baju baru, agar pantas dikenakannya pada hari ini. Tapi tentu saja hal itu tidak mungkin.
Tamu yang tiba bersama rombongan suaminya begitu banyak, sehingga lauk yang ada di meja prasmanan habis sebelum waktunya. Banyak tamu yang tak kebagian makan. Tapi Sarah pura-pura tidak tahu. Karena tidak mungkin dia harus mengatasi masalah itu di saat dia sendiri sedang berperan menjadi pemeran utama.
Di antara tamu-tamu yang ikut bersama rombongan suaminya, ada empat orang gadis yang semuanya cantik. Mereka seolah bukan berasal dari kampung. Selain cantik, kulit mereka juga putih, mulus dan terawat. Selama ini Sarah membayangkan orang-orang yang berasal dari kampung kulitnya akan sedikit kusam karena sering ke sawah atau ke kebun. Walau dia sendiri tak pernah melihat nenek maupun ibunya sendiri ke sawah, tapi entah bagaimana pikiran seperti itulah yang timbul ketika dia mengingat seseorang yang berasal dari kampung.
Ke empat perempuan cantik ini menghampiri Sarah dan menyalaminya, memberi selamat. “Bang, jaga kakak ini baik-baik, ya! Awas kalau enggak!” ancam salah seorang dari mereka.
Sarah sedikit heran, kalimat yang mereka ucapkan terdengar seperti berkata pada seseorang yang telah akrab sebelumnya. Karena penasaran, Sarah bertanya, “Mereka siapa, Bang?”
“Sepupu,” jawab Bara, singkat.
Menjelang sore, rombongan dari kampung pamit. Tapi sebelumnya, mereka ingin mampir dulu, ingin jalan-jalan selagi ada di kota, terutama mau menikmati suasana pantainya.
Suami Sarah minta izin padanya, untuk ikut menemani rombongan itu. “Sebentar kok, kami hanya mau foto-foto sebagai kenang-kenangan untuk mengingat hari ini,” kata Bara, berharap Sarah akan mengizinkannya.
Sarah sebenarnya tidak keberatan. Tapi dia jadi berpikir, bila ingin mengenang hari ini, mengapa dirinya tidak diajak serta? Akhirnya dengan berat hati dia mengizinkan juga.
Begitu rombongan itu pergi, Sarah menukar pakaiannya. Dan bersiap untuk membantu membersihkan semua yang berserakan di sana. Tapi dia mendapati sapunya patah dan menyuruh Al berdua Jured ke pasar untuk membeli sapu.
Setelah sapu didapat, dalam perjalanan kembali ke rumah, tiba-tiba Al punya ide. “Bang, kita pulangnya lewat pantai, yuk. Siapa tahu ketemu sama rombongan tadi,” usulnya.