“Kak, kita masak-masak, yuk!” ajak Mila, salah seorang di antara empat orang sepupu Bara yang datang ke pesta pernikahannya dulu. Sekarang mereka menjadi dekat, apa lagi hobi mereka juga sama yaitu memasak dan semua hal yang berkaitan dengan kegiatan dalam rumah tangga. Bersamaan dengan kehadiran mereka, hubungannya dengan Lusi juga mulai terasa jauh. Dia tidak lagi tiap sebentar menghubungi sahabatnya itu. Bagaimana pun, bercerita kepada seseorang dengan bertatap muka secara langsung lebih menyenangkan dibanding berkomunikasi jarak jauh.
Mila yang telah menikah terlebih dahulu, memberi Sarah banyak nasihat mengenai masalah rumah tangga. Walau usianya lebih muda, tapi pemikirannya jauh lebih dewasa. Karena itu, dia juga tidak masalah, bila Mila mengajarinya tentang berbagai hal. Perempuan yang telah menjadi seorang istri itu, menceritakan masalahnya pada Mila, tentang perlakuan dari sepupunya sendiri. Lelah sudah batin Sarah melihat sikap suaminya, rasanya dia tidak sanggup menyimpannya lebih lama lagi. Dia harus menceritakan pada seseorang yang bisa dipercaya. Bara selalu bersikap dingin, bicara pun sesekali, hanya bila perlu. Tidak seperti di awal pernikahan dulu, tawanya begitu renyah dan senyumnya sangat ramah. Bicaranya pun tidak pernah kasar.
Sarah telah mencoba memikirkan apakah kesalahan yang pernah dibuatnya, yang sekiranya membuat suaminya itu tidak senang dan merasa sakit hati. Dia memang ingat kejadian malam-malam saat dia menceritakan semua lelaki yang pernah mendekatinya. Namun dia merasa hal itu bukan sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk memperlakukannya seperti ini. Toh, aku tidak melakukan hal yang keji, hanya menceritakan tentang orang-orang yang menyukaiku saja.
“Mungkinkah abang merasa terhina karena Kak Sarah membanding-bandingkan seperti itu?” tanya Mila, mencoba bersikap arif, tanpa bermaksud membela sepupunya dan memojokkan Sarah.
“Benarkah?”
“Bagi laki-laki, harga diri adalah yang paling utama. Bila satu hal itu sudah terluka, dia akan sulit memaafkan orang itu. Apa lagi bila yang melakukan adalah istrinya sendiri, yang diharapkan bisa ikut menjaga harga dirinya, ternyata malah sebaliknya.”
“Jadi aku harus bagaimana?”
“Minta maaf!”
“Sudah.”
“Kalau begitu, biar saja, Kak. Mungkin abang perlu waktu untuk mengembalikan perasaannya seperti semula.”