KANVAS KOSONG

syafetri syam
Chapter #20

Ayahku Atau Ayahnya

“Kak, ayah masuk rumah sakit!” Yudi meneleponnya. Sarah kaget, karena selama ini ayah mereka tidak pernah sakit. Setidaknya hanya sakit maagnya yang kambuh dan itu pun hanya dengan membeli obat di warung terdekat sudah cukup. Tapi kali ini masuk rumah sakit. Sarah tidak bisa menebak sakit apa kira-kira yang bisa memasukkan ayah mereka ke rumah sakit.

“Ayah sakit apa?”

“Paru-paru. Kakak bisa ke sini, bantu aku jagain ayah? Kalau aku sendiri, pekerjaan bisa tinggal, Ilham ngga bisa meng-handle pekerjaanku.”

“Jured dan Al?”

“Nah, itu dia! Makanya kakak lihat sendiri ke sini! Aku ngga bisa cerita lewat telepon.”

Dengan sedikit takut, Sarah meminta izin pada suaminya untuk menunggui ayahnya di rumah sakit. Walau suaminya sudah tidak marah lagi, tapi Sarah justru lebih takut untuk bicara, takut kalau-kalau dia salah lagi. Karena suaminya bukan tipe orang yang mudah memaafkan.

“Pergilah! Semoga ayah sudah sembuh sebelum lebaran. Tidak bagus kelihatannya, seorang suami berlebaran tanpa istrinya! Kirim salam untuk ayah. Nanti, bila sempat aku menyusul ke sana,” kata Bara, mewanti-wanti sembari memberi izin Sarah untuk menunggui ayahnya. Haikal, anak mereka yang masih balita ditinggal Sarah bersama Bara. “Biar nanti aku bawa kerja, di samping kantor ada play grup, aku bisa titip di sana sementara bekerja.” hal itu melegakan Sarah karena dia bisa fokus merawat ayahnya.

Sarah memang sudah cukup lama tidak melihat kota tempat dia dibesarkan. Entah seperti apa rumah mereka kini. Dia tak sabar untuk segera melihatnya. Tapi Yudi menyuruh Sarah untuk langsung ke rumah sakit, bila telah sampai. “Jangan ke mana-mana dulu,” pesannya.

Saat di atas mobil, ketika melewati sebuah jembatan, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya. “Jured!” desisnya. Bila mulutnya bisa ditahannya untuk tidak berteriak memanggil namanya, tapi matanya tidak bisa dicegahnya untuk tidak menangis. Kerongkongannya tercekat, air matanya meleleh begitu saja melihat penampilan dan cara berjalan Jured.

Adiknya berpakaian usang dan kumal layaknya seorang gelandangan. Tubuhnya terlihat sangat kurus, berjalan seorang diri di bawah teriknya matahari dengan langkah terseok dan kepala menengadah ke langit, seolah bertanya pada Sang Pencipta hidupnya, mengapa nasibnya begini. Sarah ingin turun saat itu juga dari kendaraan yang membawanya, tapi bayangan ayahnya yang sedang terbaring di rumah sakit menjadi dilema baginya. Karena itulah, tujuan utamanya datang kembali. Dia harus memastikan keadaan ayahnya dulu.  

Adiknya yang dulu tampan rupawan, digilai banyak wanita, kini seolah tak seorang pun yang mau mendekati, layaknya orang gila. Miris, sungguh miris hati Sarah melihatnya.

Ke mana Jured hendak pergi? Apa yang telah terjadi semenjak Sarah meninggalkannya? Kenapa dia tak pernah menanyakannya selama ini? Begitu mabukkah dia dengan keluarga barunya? Inikah yang dimaksud Yudi, “Kakak lihat sendiri?” tampilan adiknya seperti inikah yang dia suruh untuk dilihatnya? 

Sarah berjalan dengan tergesa melewati lorong-lorong rumah sakit. Dia tak sabar ingin melihat kondisi ayahnya dan berharap kondisi ayahnya sudah lebih baik.

Beberapa tamu sedang mengunjungi ayahnya saat Sarah sampai di kamarnya. Tamu-tamu tersebut merupakan anggota jemaah masjid. Salah seorang dari mereka adalah mantan pejabat pemerintah, yang memberi banyak bantuan pada ayahnya. Menurut cerita Yudi, dia juga yang memasukkan Usman ke ruang rawat inap kelas satu, sehingga Usman bisa beristirahat dengan tenang selama masa perawatan tanpa gangguan dari pasien lain beserta keluarga mereka. 

Tak lama setelah berbasa-basi, jemaah itu pamit. Kini tinggal Sarah berdua ayahnya. Tanpa harus menunggu dari Yudi, Sarah mendapat banyak cerita tentang adik-adiknya dari Usman. Bahwa rumah yang terakhir mereka tempati, tidak dilanjutkan Yudi sewanya, dia menyatakan tak sanggup lagi membayarnya karena uangnya telah habis digunakan untuk memperbaiki tempat kerja, karena bantuan dari pemerintah yang mereka terima setelah bencana gempa dulu jauh dari mencukupi. Terlebih karena yang akan tinggal di rumah itu hanya Jured seorang sedangkan Al, seperti biasa, lebih suka tinggal di rumah temannya. Sebagai gantinya, dia hanya menyuruh Jured tinggal di tempat kerja. “Maka, di sanalah Jured tinggal sekarang.” Usman menutup ceritanya.

Sarah menarik nafas dalam-dalam. Merasa nelangsa mendengar kisah keluarganya sendiri yang begitu lama ditinggalkannya. Mengapa setiap dia menelepon, jawaban mereka selalu baik-baik saja? Sehingga dia akhirnya hanya bergulat dengan keluarga barunya saja.

Saat gilirannya menunggui Usman digantikan oleh Ilham atau Al, Sarah menggunakan kesempatan itu untuk mendatangi Jured. Dia datang ke tempat kerja dan hanya mendapati Yudi sendiri di sana. Karyawan yang lain juga tidak ada. “Sudah kupecat!” jawab Yudi. “Pekerjaan sudah semakin sedikit, sejak gempa itu, pelanggan banyak yang beralih ke tempat lain. Untuk biaya kita sendiri sudah susah, bagaimana mau membayar gaji karyawan?”

“Lalu, Jured mana?”

Lihat selengkapnya