Beberapa bulan telah berlalu sejak kepergian ayahnya. Sarah sudah mulai bisa melupakan kesedihan akibat ditinggal pergi ayahnya. Tapi tidak dengan sakit hatinya. Rasa sakit itu bukan saja tidak bisa dilupakan, tapi juga telah berubah menjadi api amarah. Bahkan Bara berhasil membuat apinya semakin membara seperti namanya.
Hanya beberapa pekan setelah kepergian Usman, Sayuti pun meninggal pula. Sarah sebenarnya tidak ingin datang ke sana untuk bertakziah. Bukannya dia tidak peduli, bukan pula karena perempuan itu juga tidak datang menjenguk ke rumahnya tempo hari. Tapi lebih karena ingin menjaga perasaannya sendiri. Cukuplah kabar angin yang disampaikan oleh orang-orang yang membuat sesak dadanya, tak perlu matanya harus ikut sakit karena melihat hal-hal yang tidak diinginkannya. Namun Vina, Kakak perempuan Bara, dengan sedikit memaksa mengajaknya untuk ikut.
“Ayolah! Setidaknya tunjukkan kalau kita bisa berbesar hati,” bujuk Vina.
Perempuan itu memang pernah dijadikan Sarah sebagai tempat curahan hatinya, sehingga dia bisa menebak alasan Sarah untuk menolak. Tapi karena dia merasa tidak nyaman untuk datang seorang diri, maka dia berusaha membuat Sarah untuk mau ikut dengannya.
“Tapi ...,” jawab Sarah sambil memikirkan sebuah alasan yang tepat. “Ak—“ Belum sempat dia melanjutkan kalimatnya, Vina sudah memotong.
“Udah! Kita sebentar aja, kok, ngga lama-lama. Duduk sebentar, lalu pulang. Yang penting orang-orang sudah melihat kehadiran kita,” paksa Vina. Sarah tak punya pilihan lain selain terpaksa mengikuti ajakan kakak iparnya itu.
“Sebentar, aku siap-siap dulu.”
Sarah bergegas masuk ke kamarnya. Mengenakan pakaian terbaiknya yang berwarna gelap kemudian dia merias wajahnya semaksimal mungkin. Berusaha agar terlihat “lebih” dari perempuan yang telah memorak-porandakan mahligai rumah tangganya. Sarah pernah bertemu beberapa kali secara tak sengaja dengan perempuan bernama Resi itu. Rasanya aku ngga kalah cantik! Batinnya menghibur diri sendiri.
“Memang betul kok, Kak Sarah ngga kalah cantik dari dia!” Tanpa sadar senyum tipis mengembang di bibirnya saat ingat sanjungan Mila tersebut pada dirinya, waktu mereka membicarakan Resi. Tapi senyumnya kembali kuncup begitu ingat bahwa suaminya tidak memedulikannya. Bara seolah tak peduli tentang siapa yang lebih cantik. Baginya yang penting adalah siapa yang bisa meraih hatinya, menghargainya dan membuatnya merasa nyaman.
Sarah mematut dirinya di depan cermin sekali lagi, sebelum melangkah ke luar kamar. Setelah mengambil beras untuk dibawa, dia bergegas menemui Vina yang menunggu sedari tadi.
“Yuk, Kak!”
Alhasil, untuk pertama kalinya Sarah menginjakkan kaki di rumah rivalnya itu. Di rumah kecil yang sederhana itu tidak begitu banyak pelayat yang datang. Sayuti sudah dikebumikan sejak tadi. Sekarang yang tinggal hanya para ahli waris dan sanak keluarga yang datang dari jauh.
Perempuan yang selalu jadi sumber masalah dalam kehidupan baru Sarah yang bernama Resi itu duduk di pojok rumahnya. Sementara suami Sarah duduk berhadap-hadapan dengannya. Sarah ingin marah saat itu. Darahnya sudah mendidih dan siap untuk meluap, menumpahkan segala sakit hati karena menurutnya Suaminya duduk di tempat yang salah! Mengapa dia tidak duduk di bagian depan bersama rombongan kaum lelaki, mengapa justru memilih di hadapan perempuan itu?