“Sar, Dokter Taufiq di depan! Dia mau melihat Jured,” kata Bara saat mendapati Sarah yang sedang meracik bumbu di dapur.
Sarah tercenung. Dia merasa sangat berdosa telah berburuk sangka pada suaminya tempo hari. Ternyata dia peduli pada Jured! Dia juga ingin meringankan beban Sarah dengan mendatangkan dokter ke rumah, khusus untuk melihat keadaan Jured.
Dokter Taufiq bukan hanya sekadar dokter bagi suaminya. Tapi dia juga sekaligus sahabat. Karena sejak pertama kali menginjakkan kaki ke kampung ini, Bara adalah orang pertama yang dimintainya pertolongan. Dan Bara yang memang punya jiwa sosial tinggi menggerakkan teman-temannya untuk membantu sepenuh hati, hingga semua kebutuhan serta kesulitan hidup di lingkungan baru yang dihadapi oleh dokter itu beserta keluarganya teratasi. Sejak saat itu, Bara adalah orang pertama yang akan dihubungi oleh Dokter Taufiq bila dia butuh bantuan. Dan sekarang, mungkin saatnya bagi Bara berada di posisi sebaliknya. Dialah, atas nama istrinya, yang butuh bantuan dokter itu.
Sarah menyusul Bara yang berjalan di depan. Setelah berbasa-basi sebentar dan menceritakan keadaan Jured secara garis besar, perempuan itu membawa dokter tersebut ke kamar Jured.
Di kamarnya, Jured sedang menonton televisi. Di wajahnya terlihat senyum sinis dan melenguh, seolah melecehkan seseorang. Tidak seperti orang pada umumnya yang serius menyimak acara, Jured menonton seolah-seolah televisi itu sedang berbicara padanya. Kadang kala juga dia merasa seolah televisi itu sedang meledeknya.
Saat Sarah, Bara dan Dokter Taufiq masuk ke kamar Jured secara tiba-tiba, Jured terlihat terkesiap. Ekspresi wajahnya yang semula keras perlahan melunak dan dia juga meraut sebuah senyum di bibirnya untuk sang dokter.
Dokter yang tidak mengenakan pakaian dinas itu mengulurkan tangan pada Jured. Sementara tangan kirinya menepuk bahu Jured. Mata dokter muda itu menyoroti wajahnya dengan saksama.
“Ganteng ternyata, ya?” ucapnya sambil terus menepuk. Jured senyum-senyum mendengar pujian tersebut dan dengan sedikit ragu menyambut uluran tangan dokter itu.
“Namanya siapa?” tanya Dokter Taufiq, memulai analisisnya. Tak mungkin dokter itu lupa, karena baru saja, tepat sebelum mereka masuk ke kamar itu, Sarah menyebutkan nama adiknya.
“Jured!” jawab Jured dengan suara pelan.
“Siapa?” tanya dokter itu lagi, mencondongkan telinganya, pura-pura tidak mendengar. “Coba sebutkan lebih keras!” Sementara itu tangannya masih terus menggenggam tangan pemuda itu.
“Jured!” jawabnya dengan suara yang sedikit lebih keras dari jawaban yang pertama tadi.
Sarah menyimak setiap mimik wajah adiknya itu. Iba merasuki hatinya seperti air bah yang keluar dari tanggul yang jebol. Mengapa begini nasibmu, Dik! Tangis batinnya. Jured terlihat canggung di hadapan Dokter Taufiq. Setiap pertanyaan yang diajukannya dijawab Jured apa adanya. Walau kadang tersendat dan ragu. Sesekali dokter itu juga meminta konfirmasi dari Sarah mengenai kebenaran jawaban Jured.
“Kalau ditanya, jawabannya kedengaran benar. Tapi ada hal-hal yang membuat dia tidak bisa kita kategorikan ‘sehat’,” kata Dokter Taufiq sambil memperagakan dua tanda kutip dengan jari tangannya. “Seperti tadi, saat saya tanya ‘kamu gila, ngga?’ dia jawab ‘enggak’, padahal kalau orang yang beneran sehat akan menjawab ‘ya, aku gila’.”
Miris hati Sarah mendengar kata “gila” yang keluar dari mulut dokter itu. Tapi dia tak berdaya karena yang berkata adalah seorang dokter dengan ilmu yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun. Dan karena dia sadar, dokter itu berkata untuk kebaikan adiknya juga.
Dokter Taufiq kembali menatap Jured yang masih memperlihatkan senyumnya. Dia seperti tidak terpengaruh dengan semua yang mereka bicarakan mengenai dirinya, senyumnya tetap saja tersimpul.
“Istilah kedokterannya adalah skizofrenia. Kalau orang biasa menyebutnya gila. Ya, begitulah sebenarnya yang terjadi! Tapi dalam kasus Jured ini, tidaklah terlalu berat. Ini masih kasus ringan. Ada lho orang-orang yang sudah berat kasus kejiwaannya sehingga harus disuntik untuk menenangkannya.”
“Jadi, apa perlu dirawat di rumah sakit, Dok?” tanya Bara. Sarah melirik suaminya yang tiba-tiba bertanya setelah sedari tadi diam saja.
“Oh, tidak perlu. Itu hanya untuk orang-orang yang kasusnya berat tadi. Kalau Jured, cukup dengan minum obat saja. Nanti biar saya suruh ibu meresepkan obatnya. Tinggal jemput saja ke puskesmas.”
“Ibu?” tanya Sarah penasaran.
“Istrinya Dokter Taufiq yang juga seorang dokter dan jadi kepala puskesmas di kampung sebelah. Kalau Dokter Taufiq kan, di rumah sakit kabupaten. Jauh!” Bara mendahului Dokter Taufiq menjawab pertanyaan Sarah, yang dibalas dengan anggukan oleh istrinya itu.
Dokter Taufiq ikut mengangguk, membenarkan, lalu melihat sekali lagi pada Jured. “Kamu minum obat mau, kan?”
“Obat? Buat apa?” tanya Jured.