Dugaan Sarah sebenarnya tidak terlalu keliru. Suaminya memang membantu Sarah dalam mengembalikan kondisi Jured. Membawakan dokter untuk memeriksa kondisinya dan bersedia pula menemani Sarah untuk meminta obat rutin ke puskesmas. Tapi bukan berarti dia mau mengubah sikap pada adik iparnya itu. Dia tetap menghindar saat Jured akan lewat, dan masih tetap tidak mau menyapanya. Tak bisa dipungkiri, hal itu sangat melukai hati Sarah. Dulu, waktu ayahnya sakit di rumah ini, sikapnya juga begitu. Hanya di hari pertama kedatangan Usman saja, Bara mengajaknya bicara, sekadar berbasa-basi. Besok dan seterusnya, dia selalu menghindar. Terlebih saat sakit yang diderita Usman semakin parah, bersamaan dengan kedatangan Jured, dia semakin jarang ada di rumah dan membiarkan Sarah merawat ayahnya sendiri.
Seolah Bara merasa terganggu dengan kehadiran mereka di rumah itu, merenggut kebebasannya dan menguasai ruang geraknya. Sementara dia harus berjuang sendiri mencari nafkah untuk menghidupi mereka karena Sarah tidak kunjung punya penghasilan. Mau tak mau, pikiran Sarah seperti dituntun untuk kembali membandingkan dirinya dengan Resi. Tentu, perempuan itu lebih istimewa menurutnya, karena dia seorang guru yang punya penghasilan. Bila bersama perempuan itu, tentu dia tidak akan susah sendiri mencari nafkah. Karena itulah, hubungan mereka semakin dekat. Apakah dia menyesal sudah menikahiku? Tidak, itu tidak boleh terjadi!
Karena itu, Sarah sadar diri. Dia juga tahu bagaimana kewajibannya sebagai seorang istri. Dia harus realistis dan berpikir mengenai sebab akibat. Bara telah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kehadiran Jured. Bukankah dalam aturan agamanya dia tidak boleh memasukkan siapa pun yang tidak disukai oleh suami ke dalam rumahnya, walaupun orang tersebut adalah orang tua kandung sekali pun? Apa lagi ini hanya seorang adik.
Karena itu, setelah melihat kondisi Jured yang semakin membaik, dan dengan pemikiran yang matang menurut dirinya sendiri, dia membuat rencana akan mengembalikan Jured ke kota tempat mereka tinggal dulu.
“Ah, aku kan hanya akan memindahkannya ke tempat yang mungkin bisa membuat pikirannya lebih terbuka. Sampai kapan dia begini terus? Tidakkah dia juga ingin punya masa depan dan punya keluarga sendiri? Kalau tidak diajar mandiri dari sekarang, kapan lagi? Lagi pula, di sana ada Ilham dan Al yang bisa membantu,” kata Sarah pada dirinya sendiri.
Selain itu, dia juga harus “merebut” kembali suaminya. Kamu boleh memiliki kenangan masa lalu bersamanya. Namun, bukan berarti kamu berhak mengklaim masa sekarang dengan adanya kenangan itu! Umpat Sarah dalam hatinya pada perempuan yang telah menguasai hati suaminya itu.
Dia merasa khawatir jika hubungan mereka dibiarkan berlarut-larut, akan fatal akibatnya pada pernikahannya sendiri. Sarah harus bergerak cepat untuk menyelamatkan keutuhan rumah tangganya. Untuk itu, dia harus mengeluarkan Jured dari rumah mereka. Dan hal pertama yang dilakukannya adalah menghubungi Ilham.
[Ilham, lagi ngapain?] tanya Sarah lewat sambungan ponselnya.
[Lagi kerja, Kak. Kak Sarah apa kabar? Semua baik-baik aja, kan?]
[Alhamdulillah, baik. Lagi banyak kerjaan ya, di sana?]
[Eng ... itu, aku sudah ngga ikut meneruskan usaha ayah dulu. Aku sudah kerja ikut orang, Kak, di perusahaan interior. Abang juga gabung kerja sama temannya di tempat lain,] jawab Ilham panjang lebar.
[Oya? Lalu, tempat kerja yang dulu masih ada, kan?]
[Masih, Kak. Cuma, sewanya udah lama ngga dibayar. Abang susah dihubungi, uangku juga pas-pasan buat diri sendiri, Al juga sama. Sekarang di sana sudah kayak gudang, cuma buat nyimpan barang-barang aja.]
[Oke, kalau gitu, besok aku ke sana, ya.] Sarah menutup ponselnya.
Setelah mendapat izin dari Bara dan memberi instruksi pada Jured, Sarah berangkat ke kota tempat semua kenangan masa gadisnya dulu.
Sudah banyak yang berubah sejak kota itu dia tinggalkan. Waktu merawat ayahnya di rumah sakit dulu, pikirannya terlalu fokus pada kondisi Usman sehingga perubahan suasana tidak menjadi perhatiannya. Tak terasa, Sarah sudah berada tepat di depan tempat kerja ayahnya dulu, yang juga pernah jadi tempat kerjanya. Ilham sudah menunggu di depan, duduk di tembok yang sengaja dibuat sebagai tempat duduk untuk para tamu yang malas masuk ke dalam. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam dan tersenyum lebar saat melihat kedatangan Sarah. Seakan Sarah adalah seember air yang akan menyirami tanamannya.
“Gimana, Kak? Lancar perjalanannya?”