Ponsel Sarah berbunyi. Di layarnya tertera nama “My Bro Ilham”. Sarah mengangkat ponselnya dengan antusias. Dia sangat berharap mendapat kabar baik tentang penjualan mobil yang mereka bicarakan tempo hari.
[Gimana, Il? Mobilnya laku, ngga?] Sarah langsung menyerobot dengan pertanyaan yang ingin segera dia dengar jawabannya.
[Laku sih, Kak. Tapi seumpama kita jual besi kiloan aja harganya.] Sarah terdiam sesaat, mendengar angka yang disebutkan Ilham.
[Cuma segitu, ya?]
[Iya. Kata orang sih, itu udah lumayan. Kan aku dibantu sama Pak Iwan, teman ayah yang punya bengkel, yang tinggal di dekat rumah kita dulu.] Ilham menjelaskan lebih lanjut.
[Iya, aku ingat.]
[Nah, Pak Wawan itu yang membantu mencarikan orang yang mau beli mobil itu. Dan dia juga yang bilang kalau kita dapat harga bagus.] Sarah yang kembali terdiam, membuat Ilham jadi bertanya. [Jadi, gimana nih, Kak, uangnya mau aku transfer atau gimana?]
[Nanti deh, aku kabari lagi, ya. Kamu simpan dulu uangnya!]
Sarah menceritakan perihal penjualan mobil ayahnya pada Bara. Bara antusias mendengar cerita Sarah.
“Oiya?”
“Lalu uangnya mana?”
“Masih di tempat Ilham. Kan dia yang mengurus penjualan mobil itu.” Bara terdiam sambil memainkan jenggotnya yang tumbuh satu-satu. Dan Sarah menggunakan kesempatan itu untuk mengutarakan rencananya dengan uang tersebut. Sambil berharap Bara akan senang mendengar rencananya, bahwa dia akan memindahkan Jured kembali ke kota. Tapi Bara masih tetap diam. Setelah beberapa menit barulah dia berkata.
“Besok kita jemput uangnya!” Giliran Sarah yang dibuat terdiam.
Keesokan harinya, setelah Sarah memastikan Jured sudah meminum obatnya, mereka berangkat untuk menemui Ilham.
Kedatangan mereka telah ditunggu oleh Ilham. Dia menyalami serta menciumi tangan keduanya. Sebaliknya Sarah mengajarkan anaknya melakukan hal yang sama pada Ilham, agar dia tahu, Ilham adalah omnya, saudara ibunya. Setelah basa-basi sejenak, Bara membiarkan Sarah melanjutkan pembicaraan berdua Ilham.
Sementara Sarah bicara dengan adiknya, Bara mengelilingi tempat kerja tersebut. Memperhatikan tiap sudut dengan saksama. Sesekali dia melihat ke arah dua kakak beradik itu.
“Kak, uangnya aku potong, ya, buat beli ini,” kata Ilham sambil memperlihatkan ponsel baru miliknya, dan menyerahkan sisa uangnya pada Sarah yang sudah dimasukkannya ke dalam amplop berwarna coklat.
“Wah, pantas saja suaramu kemarin enak didengar, pakai ponsel baru rupanya,” seloroh Sarah. Ilham tersipu mendengar sindiran halus kakaknya itu.