Akhirnya, saat yang dinantikan semua orang pun tiba. Semua penggemar olah raga voli, semua pemain dan semua panitia gembira dengan datangnya hari ini. Dan yang paling menantikan juga adalah para pedagang yang sudah dibuatkan lapak khusus bagi mereka di bagian belakang tribune. Tentu saja, Sarah termasuk salah satunya, pedagang yang ingin menjajakan dagangannya dan ingin mendapatkan untung dari pembeli yang membanjiri acara tersebut.
Seperti janjinya, Mila dan semua saudaranya yang cantik-cantik itu ikut membantu Sarah. Mulai dari proses yang berlangsung di dapur, lalu membawa semua barang dagangan ke lapak serta ikut serta menjualkan.
Di hari pertama pembukaan, Sarah mengeluarkan sebagian stok dagangannya. Kulkasnya sudah sesak oleh frozen food yang dibuatnya tempo hari. Setelah dibiarkan dalam suhu ruang beberapa saat, beraneka camilan siap di goreng. Mila dan Marisa membantu menggoreng sementara Sarah beserta Viona dan Moza, membuat tahu isi, brownis kukus dan cup cake. Mereka juga akan menyediakan minuman seperti kopi, kopi susu, teh hangat dan teh dingin.
Saat mereka sedang sibuk bekerja, Jured lewat, hendak ke kamar mandi. Seketika, mereka semua secara serempak berhenti dari aktivitas. Terlebih Viona dan Moza, wajah mereka memerah menatap Jured yang berjalan sambil menunduk. Dalam fantasinya, Sarah melihat kejadian itu seolah seorang pangeran sedang berada di istana yang berisi para bidadari.
Begitu sosoknya hilang dari pandangan, barulah mereka tersadar dan senyum-senyum sendiri. Ah, ternyata pesonamu masih menghipnotis, Dik. Tapi sayang .... Pilu hati Sarah menyadarinya. Seandainya Jured tidak sakit seperti itu, tentu dia bisa memilih gadis yang disukainya sebagai teman hidup.
Setelah semua beres, mereka membawanya ke lapak. Lapak Sarah berada paling dekat dengan meja panitia, sekaligus juga paling terang. Dengan demikian mereka merasa lebih untung, karena orang-orang lebih banyak yang datang ke tempatnya. Termasuk wasit dan pemain juga lebih memilih masuk ke lapak milik Sarah. Tapi tak urung, serbuan orang-orang itu sedikit menyulitkan mereka untuk mengawasinya.
Dalam sekejap, dagangan Sarah ludes. Tidak beberapa yang masih tersisa selain minuman. Pertandingan masih berlanjut, sementara dagangan Sarah sudah mulai habis sehingga orang yang datang juga mulai sepi. Sarah mengedarkan pandang. Dia mencari sosok suaminya, diantara keramaian penonton. Lelah matanya mengamati satu persatu, tapi sosok yang dicari tak kunjung ditemukan. Terlebih lagi dia juga mengkhawatirkan anak mereka yang tadi ikut dengan ayahnya itu.
“Abang duduk di mana ya, Cha? Kok ngga kelihatan?” tanya Sarah pada Marisa yang baru selesai membuatkan secangkir kopi untuk pembeli.
“Namanya juga ketua panitia, Kak. Mana bisa duduk diam. Dia harus selalu waspada, kan?”
“Betul juga, sih,” jawab Sarah seraya ingin menjaga kewarasannya dari berburuk sangka.
Tiba-tiba Sarah dikejutkan oleh sebuah suara yang berkata lantang di belakangnya. “Bu, aku habis makan sate di sana sama ayah.” Ternyata itu adalah suara anaknya yang baru datang.
“Oya, di mana? Kamu ke sini sama siapa? Ayahmu mana?” Sarah mencecar anaknya dengan pertanyaan beruntun karena tidak habis pikir kalau ayahnya tega membiarkan anaknya yang masih kecil ini berkeliaran seorang diri di tengah keramaian.
“Di situ.” Tangan mungil itu menunjuk ke sebuah lapak sate yang terletak paling jauh.
“Cha, kamu suka sate, kan? Bentar ya, aku beliin,” kata Sarah sambil berlalu tanpa menunggu jawaban Marisa. Sekaligus dia mau tahu, apakah suaminya sadar bahwa anaknya sudah tidak ada lagi di dekatnya.
Ternyata benar, Bara ada di sana. Suaminya itu sedang asyik menikmati sepiring sate sambil berbincang dengan seseorang. Sesekali dia tertawa renyah dengan kelakaran yang dibuat lawan bicaranya yang tak lain adalah Resi.
Sarah lelah! Tubuhnya tiba-tiba melemah, walau hatinya teramat murka. Ingin rasanya membanting semua meja dan bangku serta memecahkan piring-piring yang ada di sana. Tapi itu tidak mungkin. Kewarasannya masih tersisa sedikit untuk mencegahnya dari berbuat hal yang memalukan. Karena itu dia memilih untuk pergi secepatnya dari sana.
Sampai di lapaknya sendiri, tangisnya langsung pecah. Mila dan Marisa segera menghampirinya.
“Ada apa, Kak?”
“Abang ...!” Sarah tak sanggup meneruskan kalimatnya.
“Abang kenapa, Kak?” tanya Mila penasaran.