Suami Sarah sudah bersiap-siap dengan tentengannya dan sebuah tas pinggang. Bara akan berangkat lagi dengan pesawat pagi ini menuju Jakarta. Padahal baru seminggu yang lalu dia pulang. Karena kemarin, dia baru menerima kabar bahwa Om Arifin, kakak dari almarhumah ibunya, meninggal.
“Aku merasa bersalah karena kemarin tidak ke sana. Bukannya tidak sempat, tapi entah kenapa, berat rasanya untuk datang. Padahal waktu itu aku sudah mendengar kabar bahwa dia sedang dirawat di rumah sakit, eh, ternyata kemarin meninggal.” Bara memasang jam tangannya. Raut wajah itu terlihat sangat menyesal. “Tentu, dari para pelayat yang datang ada yang tahu kedatanganku ke Jakarta dan beritanya sampai juga ke mereka. Pastilah mereka akan berkecil hati mengetahui aku tidak pergi melihat ayahnya. Seandainya aku datang waktu itu, tentu sekarang tidak perlu harus ke sana lagi. Cukup telepon saja untuk menyatakan turut berduka cita.” Bara berdiri kemudian menenteng tasnya dan berjalan menuju pintu.
Sarah mengantar suaminya hanya sampai di depan pintu saja, karena Bara akan berangkat dengan ojek motor ke bandara, untuk menghindari macet.
“Abang ke mana, Kak?” Jured muncul begitu saja ketika Sarah hendak menutup pintu.
“Eh, kamu, tumben sudah bangun?” tanya Sarah. “Abang mau balik ke Jakarta lagi, ada saudaranya yang meninggal di sana.”
Biasanya, karena pengaruh obat skizofrenia yang rutin diberikan Sarah, Jured selalu bangun di atas jam sepuluh. Tapi sekarang, belum jam sembilan, dia sudah bangun, matanya juga tidak terlihat seperti orang yang baru bangun tidur.
Semalam, Jured memang mengatakan sakit perut. Perutnya mulas, tapi tidak ada yang keluar. Beberapa hari ini memang, dia tidak nafsu makan. Nasi yang diambilkan Sarah sering bersisa di piringnya. Padahal biasanya selalu habis. Bahkan kemarin, nasinya cuma setengah dari biasanya, masih juga bersisa banyak.
Dan pagi ini, tidak hanya perut, tapi dadanya juga terasa sakit. “Rasa sakitnya terasa menyebar ke seluruh dada, jadi sesak rasanya.” Kata-kata Jured terdengar “benar” di telinga Sarah. Dia seperti bukan Jured yang di hari-hari kemarin. Yang selalu kelihatan bingung dan kalau bicara tidak fokus. Mungkinkah selama ini dia hanya pura-pura, biar mendapat perhatian? Dan sekarang karena merasa sakit, jadi ngga bisa pura-pura lagi? Berbagai prasangka bermunculan di benak Sarah.
Sarah mengambil minyak angin dan memberikannya ke Jured. “Coba olesi ini!” Jured mengambil minyak tersebut dan membawa ke kamarnya. Belum sepuluh menit dia keluar lagi. “Rasanya semakin sakit, Kak,” katanya sambil meringis. Sarah mulai bingung, tapi dia seperti tidak mau ambil pusing dan menganggap keluhan Jured hanya bagian dari sifat manjanya di masa lalu.
“Udah, kamu istirahat aja, paling sebentar lagi juga hilang sakitnya. Minyak anginnya lagi ‘kerja’, makanya memang jadi terasa lebih sakit,” kata Sarah sedikit kesal mendengar keluhan Jured, terlebih saat dia ingat banyak pekerjaannya yang belum selesai.
Dia ingat waktu pertama kali diminta ibunya mengantar Jured berobat, ternyata nasihat dokter hanya menyuruhnya istirahat. Dan benar saja, beberapa hari setelah itu dia sembuh. Sarah berpikir bahwa sakit yang ini adalah kambuhan dari sakitnya yang dulu, karena itulah dia menyuruh Jured kembali ke kamarnya untuk istirahat. Selain itu, dia juga bingung karena di rumah itu, tak ada orang lain yang bisa dimintai pertolongannya. Hanya ada dia, Jured dan Haikal, anaknya yang masih balita.
Sarah lalu teringat ponselnya, dan mencari sebuah nomor. “Alhamdulillah, nomor telepon Teddy masih kusimpan. Kalau ada apa-apa, semoga dia bersedia membantu,” kata Sarah pada dirinya sendiri lalu kembali meletakkan ponselnya.
Begitu Sarah selesai memasak, Jured lagi-lagi datang menghampirinya. Wajah Jured dilihatnya sudah sedikit cerah. Nah, kan, kubilang juga apa, cukup istirahat saja, batinnya.
“Kak, Kakak bisa potong rambut, ngga? Tolong potongin rambut aku,” pintanya sambil memegang rambut ikalnya yang panjang sebahu.
“Potong rambut?” Permintaan pertama Jured sejak berada di rumahnya dan merupakan permintaan yang konyol menurut Sarah karena dia tidak punya kepandaian untuk itu.
“Iya, rambut ini sudah panjang banget. Gerah, Kak.” Tubuh Jured memang terlihat berkeringat. Di wajahnya dan di atas leher bajunya juga terlihat butiran keringat.
“Aku belum pernah coba, nanti hasilnya jelek lho!”
“Ngga apa-apa, Kak, asal potong aja, yang penting ngga panjang lagi,”
“Nanti aja gimana, Red? Aku mau kerjain yang lain dulu sebentar,” kilah Sarah memberi alasan karena sebenarnya dia hanya sedang malas.
“Iya, Kak,” jawabnya. Jured kembali ke kamarnya dengan melangkah seperti langkah orang biasa. Bukan dengan langkah yang sangat lambat seperti langkah kakinya selama ini. Sebelumnya, dia juga tidak punya inisiatif apa-apa terhadap dirinya. Apa lagi untuk minta dipotongkan rambut. Dan bila seperti tadi, setelah Sarah berkata “nanti” maka dia hanya akan berdiri di sana mematung, selama apa pun, sampai Sarah menyuruhnya, barulah dia bergerak.
Jured sudah kembali! Dia sudah seperti sedia kala, seperti Jured yang dulu, yang pernah menjalani hari-hari indah, melukis mimpinya. Harusnya Sarah gembira dengan hal ini. Harusnya perempuan itu bersyukur. Karena bebannya akan sedikit berkurang bahkan bisa saja hilang sama sekali bila dia mau membantu Jured untuk meraih cita-citanya kembali. Tapi dia tidak bisa “membaca” tanda itu.