Kanvas

Viola Elysia
Chapter #3

Chapter 3

Sudah tiga hari Clara terkurung di dalam kamarnya. Mika terus mengawasi Clara agar tidak berpikir keras ataupun terlalu lelah di ujung kamar sambil memainkan handphone miliknya. Ranjang Clara yang sebelumnya berada di sebrang jendela pun dipindahkan agar dia lebih leluasa melihat dunia luar.

Goresan demi goresan warna Clara oleskan pada kanvas berukuran sedang. Sesekali dia menoleh ke arah jendela dan memperhatikan lapangan basket di bawahnya. 

Karena kemarin Clara terlalu banyak berpikir dan lelah bermain dengan anak-anak, Mika melarang Clara keluar dari kamar. Bahkan Mika nyaris saja melarang Clara untuk melukis jika saja Clara tidak memohon padanya.

"Kapan aku boleh keluar?" tanya Clara tanpa menoleh ke arah Mika. Pandangannya masih terfokus pada lapangan basket di balik jendela.

Mika melirik Clara sekilas, lalu kembali fokus pada handphonenya. "Besok kau boleh keluar selama satu jam. Hm, atau mungkin setengah jam?"

Clara langsung menoleh dengan cepat ke arah Mika. "Apa?! Setengah jam?!" tanyanya histeris.

"Ayolah kak! Kemarin-kemarin aku terlalu banyak berpikir. Aku tak akan berpikir keras lagi," Clara melanjutkan dengan gumaman, "Kecuali kalau Rey menatapku lagi."

Sayang sekali Mika mendengar gumaman itu. "Aku dengar itu."

Clara pun tersentak. Dia pun mengembungkan kedua pipinya. Sifatnya kini benar-benar menyerupai fisiknya yang seperti anak-anak. Clara sedang merajuk.

"Kemarin aku hanya terlalu banyak berpikir. Ditambah lagi pasien anak-anak hari itu sedang banyak." Clara berucap dengan nada yang begitu sendu, membuat siapapun yang mendengarnya tak akan tega untuk mengacuhkannya.

Mika memijit pangkal hidungnya sambil mendesah panjang. "Baiklah, kau boleh keluar besok."

Air muka Clara langsung cerah begitu mendengar penuturan Mika. Jantungnya berdetak dengan kencang sangking senangnya. Clara kembali tersenyum cerah dan melanjutkan lukisannya.

Akan tetapi saat Clara sedang ingin mengeluarkan cat ke palet, beberapa warna termasuk warna primer telah habis. Wajah Clara yang tak menyangka pun langsung berubah menjadi syok.

Apa ini adalah hari sial, atau malah hari keberuntungan?

Clara tak dapat membayangkan hari tanpa melukis. Apalagi lukisannya hari ini belum selesai. Padahal Clara berniat menggambar suasana langit malam di antara bayangan pohon cemara dan juga aurora. Tetapi warna putih, kuning dan hitam telah habis. Bagaimana cara Clara menyelesaikan lukisannya di kanvas yang baru dipenuhi oleh warna biru? 

Mika yang menyadari raut wajah Clara pun bertanya, "Mau menelfon orangtuamu agar membawakan cat?"

Clara berpikir sejenak. Jika dia meminta orangtuanya membawakan cat, dia takut merepotkan mereka. Clara tau bahwa biaya rumah sakit tidaklah murah. Dan alasan orangtuanya jarang datang dan sibuk bekerja juga untuk kebaikannya. Tapi dia juga ingin lukisannya selesai.

Terbesit sebuah ide di benaknya. Bagaimana mungkin Clara lupa bahwa dia memiliki pensil warna? Karena jarang digunakan, dia sampai melupakan eksistensi dari pensil warna itu.

"Tidak perlu kak, aku masih bisa melanjutkan dengan pensil warna," jawab Clara dengan senyuman.

Pensil warna? Batin Mika bingung.

"Kau yakin Clara?" tanya Mika memastikan. Mika ragu bahwa Clara memiliki hal lain selain kavas, cat, palet dan kuas.

Clara pun membalas dengan yakin, "Iya!"

Clara pun mendekati lemari sekaligus meja yang kini berpindah tempat menjadi di sisi kiri ranjang. Dibuka laci paling atas dan dia pun menemukan sekotak pensil warna dan buku gambar. Clara pun mengambil kotak tersebut tetapi membiarkan buku gamabar berukuran A4 itu.

Clara pun melanjutkan lukisannya yang tertunda. 

Biasanya Mika akan cuek saja melihat bagaimana Clara melukis dengan cat karena sudah terbiasa. Namun, kali ini Clara tidak menggunakan cat melainkan. Hal itu pun mengundang perhatiannya.

Jari-jemari kecil Clara bermain dengan gesit di atas kanvas. Goresan demi goresan pun tercipta dan memenuhi kanvas yang semula polos itu. Sesekali Clara mengoles hasil goresan pencil warnanya dengan kuas kosonh—kuas basah tanpa cat—untuk memperindah lukisannya.

Tak lama kemudian, lukisan itu telah selesai.

Indah, sungguh menakjubkan. Bagaikan sebuah foto, hasil lukisan Clara lagi-lagi begitu menakjubkan. Mika yang sering melihat lukisannya saja tetap dibuat takjub. Sungguh tak dapat dipercaya bahwa Clara belajar secara otodidak.

Mika bangkit dan berjalan mendekati standing board yang ada di dekat ranjang Clara. 

"Astaga," ucap Mika tak percaya. 

Clara tersenyum cerah, bangga dengan hasil lukisan miliknya. Ternyata dia juga bisa menggunakan pensil warna dengan baik.

Lihat selengkapnya