Jantung Mawinei berdegup lebih kencang saat benar-benar akan pulang kampung. Hari ini, setelah kuliah di Yogyakarta selama lima tahun, dia memutuskan pulang ke kampung halamannya di pedalaman Kalimantan Tengah. Kerinduannya membuncah pada keluarga dan kawan-kawan masa kecilnya.
Mawinei menempuh perjalanan yang panjang mulai dengan naik bus dari Yogyakarta ke Surabaya, lalu naik kapal laut sehari semalam ke Pelabuhan Sampit, di Kalimantan Tengah. Dari Sampit, dia harus naik bus lagi ke Palangkaraya dan lanjut ngojek ke Maraya, kampungnya yang terletak di Kabupaten Gunung Mas di tepi Sungai Kahayan. Saat di bus ke Palangkaraya, Mawinei mendengar para penumpang membicarakan kematian Jenderal Soeharto yang terjadi kemarin tanggal 27 Januari 2008.
Perjalanan pulang kampung itu bisa ditempuh hingga dua hari dua malam. Kelelahan tidak Mawinei hiraukan karena kerinduan sudah menjalar dan mendentam-dentam hatinya. Dahulu bahkan lebih lama lewat jalur sungai, dari pelabuhan Rambang Palangkaraya ke dermaga Sepang ditempuh sehari penuh dengan perahu kelotok. Itu pun kalau perahu bermesin yang terbuat dari kayu itu, tidak mogok di tengah sungai Kahayan. Sungai yang lebarnya lima ratus meter dan menjalar sejauh enam ratus kilometer hingga bermuara di Laut Jawa itu tepinya banyak ditumbuhi pepohonan. Kadang-kadang perahu melaju terlalu ke tepi sehingga tersangkut akar-akar pohon yang menjuntai ke dalam sungai, atau nasib naas karena mesin kapalnya yang rusak. Jika hal-hal seperti itu terjadi, bisa tiga hari tiga malam di perjalanan.
Di bus sempat pula Mawinei mendengar obrolan para mina saat istirahat di pom bensin. Ibu-ibu yang biasa dipanggil mina yang berarti bibi itu asyik bicara soal makanan.
Bau juhu tana masakan umai, ibu, langsung tercium Mawinei tanpa diundang. Sudah terkenal di kampung bahwa ibunya pandai memasak. Masakan sayur dengan ikan baung itu membuatnya menelan ludah, rasa khas hidangan masakan itu terasa sangat sedap. Turun temurun nenek moyang mereka jadi pemimpin bagian masak-memasak saat upacara-upacara adat Dayak macam kelahiran anak dan pernikahan.
Juhu tana bila ditambah kandas terong disertai sambal terasi makin menggiurkan apalagi terongnya dibakar. Sambal terasinya yang membuat Mawinei langsung lapar. Sajian itu makin sempurna dilengkapi dengan ikan baung yang dibakar.
Mawinei jadi ngiler teringat hidangan itu. Dia menelan ludah kesekian kali.
***
Dua hari setelah keberangkatannya dari Yogyakarta, Mawinei tiba di kampungnya. Orang-orang menyambut kedatangannya dengan suka cita. Rumah betang dihiasi janur dan ramai didatangi banyak orang. Bangunan tertua di kampung ini sudah tegak berdiri ratusan tahun lalu. Panjangnya sekitar seratus dua puluh meter, dengan lebar tiga puluh meter, dan tinggi enam meter. Dari cerita Bue, kakek Mawinei, kayunya diambil dari hutan, digotong ramai-ramai. Semua lelaki dewasa ikut bergotong royong membangun rumah betang. Satu gelondong kayu bahkan harus digotong lebih dari dua puluh orang karena begitu besar dan berat. Selama pembangunan itu, nenek Mawinei memimpin ibu-ibu untuk memasak.
Saat disambut, Mawinei melangkah agak canggung karena jadi pusat perhatian. Sejenak dia menundukkan wajah pada semua hadirin. Rumah betang menjadi rumah Mawinei sewaktu kecil. Tepatnya di salah satu petak yang disekat sebelum ayahnya membangun rumah di luar betang. Ada dua puluh lebih petak yang disekat dan pintunya diberi nomor 1 sampai 20. Kebanyakan penghuninya keluarga besar balian, bapa dukun, dan ada ruang yang dipakai untuk gudang dan sembahyang.