Kaok Gagak di Kahayan

Han Gagas
Chapter #2

Korban

Saat Mawinei merebahkan tubuh usai perhelatan menyambut kedatangannya di rumah betang, dia teringat tadi sempat melihat seorang bibi yang gelisah. Mawinei merasa ada kegelisahan yang samar di wajah tetangganya itu. Demikian pun di wajah kerabatnya. Mereka seperti memendam kegelisahan yang sama yang tidak terungkapkan.

Mawinei mengusir perasaan resah yang seketika hinggap di dadanya. Suara serangga terdengar berderik di luar. Dia bangkit berdiri, membuka jendela kamarnya. Ada angin bertiup di sekitarnya. Mawinei merasa aneh ⸺ aneh terhadap cuaca yang begini terik. Tanpa menutup jendela, dia merebahkan tubuhnya yang lelah. Keletihan membuatnya terlelap.

Pagi buta, sisa kegembiraan dan perasaan damai semalam pecah seketika, saat tiba-tiba terdengar teriakan minta tolong. Ketakutan menyeruak di pagi itu ketika Ibu Sanja berteriak keras, “Tolong! Arai, anakku berak darah! Arai berak darah!”

Kabut pagi berangsur menghilang berganti dengan terang tanah. Orang-orang berdatangan, sebagian dicegah Bapa Hanjak, ayahnya Arai, agar tidak semua masuk rumah. Di kamar yang terbilang kecil, Arai, anak Mina Sanja dan Bapa Hanjak yang baru berumur lima tahun, kejang-kejang. Kakinya menendang-nendang tidak karuan. Tubuhnya agak membiru.

Mina Sanja kebingungan, wajahnya dibasahi air mata.

Balian, bapa dukun, segera dipanggil. Lelaki tua itu datang dengan raut muka tenang. Dia duduk dan mulai menyandah, menerawang untuk melihat sebab penyakit. Lalu melanjutkannya dengan upacara adat sangiang, pengobatan dengan bantuan roh leluhur. Tubuh kurus balian terlihat bergetar seperti kerasukan roh. Setelah kembali tersadar, dia berbicara dengan salah seorang tetangga. Lelaki tua itu mengangguk cepat dan segera berlari mengajak para tetangga lain masuk hutan, mendongkel beberapa tanaman untuk diambil akar dan dedaunan.

Daun dan akar rumput bulu ditumbuk, setelah itu dibalurkan ke pusar Arai. Ada pula yang menyeduh dedaunan itu, dan air saringannya diminumkan ke Arai. Akar halalang dan bopot turut pula ditumbuk dan diseduh dengan air panas, kemudian diminumkan. Ketiga jenis tanaman ini diyakini sebagai obat sakit perut, muntaber, dan mengatasi pendarahan.

Ganjilnya setelah terlihat membaik, sehari kemudian keadaan Arai memburuk. Biasanya obat dan bantuan dari bapa balian selalu berhasil. Kali ini keanehan terjadi. Tubuh Arai tampak makin lemas, matanya sayu, dan ujung jemarinya membiru.

Mina Sanja bingung bukan kepalang. Arai sudah tidak muntah berak tapi suhu tubuhnya justru panas sekali. Makin lama keadaan tidak berubah jadi baik seperti ada kejanggalan yang mewujud.

 Udara terasa lebih menyengat kulit, dan angin jarang sekali berembus. Alam seperti berubah tidak biasa. Matahari menyinar begitu garang. Langit sepenuhnya biru, tidak ada awan bergerombol sedikitpun. Babi-babi di kandang diam tidak menguik, ayam-ayam seperti lesu, dan anjing-anjing duduk bermalas-malasan. Burung gagak yang dipercayai penduduk sebagai penanda keburukan dan kematian bercokol di pucuk pohon meranti, mengkaok-kaok. Suaranya seperti memekik-mekik.

Paras wajah Arai tampak memucat, dan bibirnya membiru. Tubuhnya kejang-kejang hebat, matanya terbelalak, dan dadanya tersengal-sengal seperti orang yang kehabisan napas. Tanpa siapapun orang duga, Arai mengembuskan napas terakhir.

Mina Sanja hanya mampu menangis. Tangisan yang panjang dan lama. 

Lihat selengkapnya