Kaok Gagak di Kahayan

Han Gagas
Chapter #3

Sungai yang Keruh

Mawinei dan Danum melangkah dengan riang. Wajah mereka berseri-seri mengulang perjalanan yang sering mereka lakukan sejak kecil. Kedua dara itu menyusuri setapak melewati kebun duren dan rotan milik bapa balian. Dulu di masa kecil, mereka paling senang makan buah durian yang jatuh dari pohon. Benar-benar beda rasanya dengan yang dipetik dan dijual di pasar atau tepi jalan. Buah yang mereka temukan biasanya jatuh di malam hari.

Di masa anak-anak, pada hari Minggu saat liburan, mereka sering jalan-jalan sehabis subuh melewati kebun ini sehingga kerap menemukan durian jatuh. Mereka akan menikmatinya beramai-ramai, rasanya sungguh sangat lezat.

Selain kebun durian, Mawinei dan Danum juga melewati kebun rambutan dan langsat milik tetangga lain. Setelah pohon cempedak yang buahnya juga sering mereka nikmati semasa kecil, mereka sampai di setapak penuh rerumputan dan belukar.

“Wah ada kelakai, ayo ambil,” seru Danum sambil berlari mendekati tanaman itu.

Mawinei ikut mempercepat langkahnya mendekat.

Tanaman jenis paku-pakuan yang berwarna kemerah-merahan itu memang enak disayur. Mereka memetik dengan gembira, dan memasukkannya ke dalam kantong plastik yang sengaja Danum bawa di sakunya. Setelah dirasa cukup mereka melangkah menuju sungai. Pemandangan mulai terlihat terbuka, hanya ada semak belukar dan rerumputan, dan sedikit pepohonan. 

Tampak beberapa pondok huma di lereng bukit terlihat syahdu dari seberang. Di tengah hamparan kebun sayur yang kehijauan, warna rumbai dan kayunya yang coklat terlihat mencolok. Pondok-pondok huma itu disebut juga pasah, gubuk, dipakai buat istirahat saat meladang. Huma juga bisa untuk menghindari banjir luapan sungai saat hujan deras, sekaligus untuk menjaga ladang dan kebun dari hama.

Langkah mereka tiba di bibir sungai, dan terkejutlah Mawinei ketika melihat air sungai. “Wah, airnya coklat!” teriaknya. Bulatan matanya melotot tajam menatap heran melihat air sungai yang sangat keruh.

“Sudah tidak jernih seperti dulu, padahal lima tahun lalu masih jernih. Apa karena lahan gambut di hulu sana yang bikin coklat?” Danum bertanya dengan muka yang sedih.

“Bukan, lahan gambut kan sejak dulu sudah ada, sungai juga jernih. Sekarang seperti berlumpur,” selidik Mawinei sambil menatap pinggiran sungai.

“Kau masih ingat kan, dulu masa kita kecil, juga kadang minum air sungai ini, tanpa pakai direbus, perut juga tak sakit.” Suara Danum bergetar. Dia membuang pandangannya jauh mengikuti alur sungai yang seperti lumpur cair dengan garis-garis berkilau di permukaannya.

Mawinei mengangguk. Ingatannya merawang ke waktu masa kecilnya, masa Sekolah Dasar. Masa itu mereka bersama Simpei, Ekot, dan anak-anak lain sering bermain di situ saat sungai mendangkal. Air sangat jernih dan surut meninggalkan pinggiran yang landai, berpasir agak putih ⸺ tidak berlumpur seperti ini. Di pinggiran itu banyak lubang kepiting yang sering mereka tangkap untuk dimasak, ditumis dengan kangkung, rasanya sungguh nikmat. Semasa mereka kecil, selain menangkap kepiting anak-anak juga suka bermain pasir, tidak takut dimangsa buaya, berlari-larian sepanjang pasir, dan bahkan mencebur berenang di sungai.

Mereka juga asyik main manten-mantenan. Danum jadi pasangannya Simpei. Ekot jadi penghulu. Jenggot dari sabut kelapa dilem di dagunya dengan pulut, lem alam dari getah karet. Si penghulu duduk di gundukan pasir dibuat seperti singgasana. Mawinei jadi saksi pernikahan ditambah seorang anak lain. Beberapa anak di bibir sungai menonton sambil tertawa cekikikan.  

Hujan yang sebelumnya gerimis, tiba-tiba berubah deras dalam waktu cepat. Upacara adat perkawinan anak-anak itu langsung buyar. Mereka berlarian untuk cepat kembali ke rumah betang. Namun jalan setapak sungguh licin, akhirnya beberapa kali sebagian bocah terjatuh dengan bokong kesakitan. Sebagian yang tidak jatuh tertawa kencang-kencang sambil berlari.

Lihat selengkapnya