Aku mengenalnya lima tahun lalu. Seorang wanita yang selalu kudapati terbangun di sepertiga malamnya dengan wajah segar dan basah. Wanita ceria yang penuh rahasia. Setidaknya, aku mengetahui itu dari buku harian bersampul coklat tua usang dan begitu kuno yang tak lama kuketahui merupakan hadiah dari mendiang ibunya. Di buku itu semua yang tak ia ceritakan padaku tertuang, tentang bagaimana ia yang bisa begitu indah mengabadikan sesuatu ke dalam aksara sederhana. Melalui tulisannya, aku menjadi tahu bila diam-diam ia sedang mengagumi sesuatu, sesosok, atau apapun yang ia sebut 'Langit'.
Kirana Wirastri, bila seorang lelaki telah bertemu dengannya satu kali, aku yakin malamnya ia akan menggumamkan nama itu sebelum tidur sembari tersenyum. Satu-satunya lelaki yang dulu kupikir tak terpengaruh akan hal itu adalah Naj.
'Selamat atas kelahiran putra pertamamu!'
Begitulah kalimat yang kukirimkan kepadanya melalui direct message sebagai balasan untuk cerita yang ia bagikan dengan teman dekat di media sosial pribadinya dua puluh menit yang lalu. Dia tengah berbahagia dan itu berhasil menarik sudut bibirku sejenak. Kuputar video cerita itu berulang kali; seorang lelaki yang tengah mengazani bayi merah di gendongannya. Suaranya begitu lembut, tak sedikitpun berubah meski sekarang ia telah menjadi seorang ayah. Suara yang kembali kudengar lagi setelah sekian lama. Harusnya aku mengucapkan selamat untukmu juga.
Kupejamkan mata sejenak, menikmati merdu suaranya yang berpadu dengan siuran angin musim dingin Atacama—dinginnya ternyata masih mampu menembus palto wol yang kukenakan. Bulan Agustus segera berlalu, tapi tak ada tanda-tanda musim dingin akan berakhir. Suhu masih tetap berkisar pada empat derajat Celcius di malam hari.
Getaran ponsel beberapa kali, membuatku memeriksanya.'Terima kasih, Bi. Andai kau ada di sini juga pasti aku akan sangat senang,' balasan dari Kirana.