Kapal Layar di Lautan

Rana Aksa
Chapter #2

1. Pelindung Tiga Cahaya

Bandung, enam tahun yang lalu.

DARI kejauhan terlihat vespa merah tua yang sedang melaju, timbul-tenggelam dalam jalanan yang menanjak lalu menurun dan menanjak lagi. Aku bisa melihatnya karena tempat ini lebih tinggi. Vespa itu semakin dekat ke arahku, meninggalkan kepulan asap pekat akibat pembakaran tak sempurna di sepanjang jalan yang dilaluinya. Kalau diibaratkan manusia, vespa itu sudah renta, ringkih, dan sering terbatuk-batuk, yang seharusnya telah pensiun namun masih saja dipaksa untuk bekerja. Businya sudah minta ganti—kalau diganti, tak lama akan minta ganti lagi—dan coba lihat berapa banyak jelaga di knalpotnya, banyak sekali!

Tanpa melihat pengendaranya dari dekat, aku sudah tahu siapa pengendara vespa itu. Aku memejamkan mata, pura-pura tertidur saat vespa merah tua itu berhenti tepat di depan pohon akasia tua yang sekarang menjadi tempatku duduk bersandar selama lima jam lamanya, tak kemana-mana, tak berbuat apa-apa, dan aku betah. Suara vespa merah tua yang memekakkan telinga itu mati, lalu yang kudengar selanjutnya adalah suara gesekan sepatu dengan rumput yang semakin dekat.

"Naj!"

Seketika aku membuka mata, menatap lelaki itu tajam karena telah mencopot paksa earphone di telingaku. Dengan santai ia menepuk-tepuk rumput di sampingku lalu duduk di sana, bersandar pada pohon akasia tua yang dahannya tengah menaungi kami dari terik mentari. Dia masih mengenakan seragam putih abu-abunya, namun sudah tanpa dasi—pasti setelah mengantar Kirana ia langsung ke sini. Tangannya menggulung kabel earphone putih milikku, beberapa kali menjauhkannya dari jangkauanku saat tanganku berusaha merebutnya.

"Kembalikan!"

"Kamu bolos lagi ya, Bi?” Aku menghentikan gerakan tanganku yang berusaha menjangkau earphone dari genggamannya, "Enggak, cuma ingin mencari udara segar."

"Tapi, pulang sebelum waktunya itu bolos namanya. Kapan sih berubah?"

Aku menghela napas, membenarkan posisi dudukku sejenak. "Ya ... besok tidak lagi deh!" Kuacungkan dua jari berbentuk V ke arahnya.

Naj berdecak, mengeluarkan beberapa buku bersampul krem bertuliskan namaku di sudut kiri atasnya. "Kebiasaan juga meninggalkan buku sembarangan!"

"Ehehe, makasih, Naj!" Aku hanya menampakkan cengiran tak berdosa kepadanya. Naj hafal kebiasaan cerobohku ini; sering meninggalkan buku di laci meja kelas. Entah mengapa aku tidak bisa seperti Kirana yang begitu teliti dengan barang-barang miliknya. Bahkan, kalian akan melihat begitu banyak perbedaan mencolok antara kamarku dan Kirana walau dalam satu ruang. Lihat saja nanti!

"Naj, aku ingin melihat senja di dermaga." Tiga hari sudah aku tak melihat senja karena hujan yang turun berturut-turut setiap sore, ternyata membuatku rindu cahaya jingga itu. Biasanya, setiap sore aku dan Naj akan pergi ke dermaga, menikmati senja di sana hingga matahari benar-benar tenggelam dan berganti gelap malam. Seharian ini cuaca cukup cerah, tak ada tanda-tanda akan turun air langit dan kuprediksi cuaca ini akan sampai sore hari.

"Sore nanti ya?" pintaku padanya. Tak perlu menerka Naj akan menjawab apa, karena aku sudah tahu. Pasti ...,

"Tentu saja!" Aku bersorak dalam hati. Naj selalu tak pernah menolak apapun permintaanku.

Aku lalu memasukkan buku-bukuku yang tadi dibawa Naj ke dalam tas. Sedangkan Naj mengeluarkan sesuatu dari tasnya; Al-Qur'an saku hijau tua yang lusuh. Benda itu yang selalu ia bawa kemana-mana, entah karena Al-Qur'an itu pemberian ayahnya atau karena itu memang benda kesayangannya. Tapi, Naj pernah bilang kalau ia punya tiga cahaya dalam hidupnya; Al-Qur'an, ayahnya, dan aurora. Tiga perpaduan yang kusimpulkan menjadi polaris bintang-bintang di langit hidupnya selama ini.

"Aku cuma punya tiga cahaya itu, Bi. Mungkin akan bertambah seiring perjalanan hidupku yang akan jauh, bisa jadi kau pun akan menjadi cahayaku nantinya," katanya dua tahun lalu saat kami baru saling kenal dan masih begitu kuingat.

Di tempat ini, Naj biasanya akan menghafal sepulang sekolah sampai sore hari sebelum pergi ke dermaga bersamaku. Ia mulai membuka lembar-lembar usang itu. Entah berapa tahun umurnya, yang kutahu sudah sangat lama. Kesempatan ini kugunakan untuk merebut kembali earphone-ku darinya karena aku tahu ia tak akan menggangguku lagi jika sudah mulai fokus pada hafalannya. Aku memasangkan earphone kembali ke telinga, menghubungkan dengan ponsel namun kali ini tak ada satu pun lagu yang kuputar. Aku selalu berpura-pura mendengarkan lagu saat Naj sibuk dengan hafalannya, padahal tak pernah sedetik pun suaranya kuabaikan. Aku kembali bersandar pada pohon akasia, menikmati sepoi angin dan suara Naj yang berkolaborasi begitu menyejukkan.

"Sudah berapa halaman kamu menghafalnya?" tanyaku setelah ia mencukupkan hafalannya.

"Baru setengahnya. Aku harus menyelesaikannya jika ingin bertemu ayahku."

Aku menarik bibir tipis, kembali menyandarkan kepalaku ke pohon akasia, memejamkan mata, dan mencoba untuk terlelap sejenak. Naj pernah berjanji akan mencari ayahnya setelah lulus sekolah dan syaratnya adalah ia harus telah hafal seratus empat belas surah itu. "Tapi lulus SMA masih satu tahun lagi, Naj!"

Lihat selengkapnya