SUMMER triangle, itu sebutan yang cocok menggambarkan aku, Naj, dan Kirana setelah kupikirkan semalaman. Sebuah asterisma tiga bintang terang yang bila ditarik garis lurus imajiner akan membentuk sebuah segitiga besar di langit. Ketiga bintang terang itu tak lain adalah: Altair, yang merupakan bintang alfa rasi Aquilla; Vega, si bintang alfa rasi Lyra; dan Deneb, bintang alfa dari rasi Cygnus. Disebut orang-orang yang tinggal di daerah empat musim sebagai segitiga musim panas karena bentuk ini memang hanya akan muncul bila musim panas akan segera tiba. Segitiga musim panas terlihat jelas di belahan bumi utara bahkan dengan mata telanjang, namun juga masih bisa diamati di belahan bumi selatan termasuk negara tropis, seperti Indonesia. Kalau ingin mengamatinya sekitar bulan Juli hingga Oktober. Tapi, waktu yang tepat melihatnya diantara bulan Agustus dan September, karena langit malam akan semakin indah dengan galaksi bima sakti yang terbentang diantara Altair dan Vega.
Dalam mitologi Altair, Vega, dan Deneb bersahabat. Vega digambarkan sebagai sosok cerdas yang merupakan bagian utama rasi Lyra, sedangkan Lyra sendiri adalah nama harpa milik Orpheus, musisi dalam mitologi Yunani kuno. Vega cocok sekali dengan Kirana yang cerdas.
Deneb dalam rasi Cygnus digambarkan sebagai sesosok angsa yang gemulai, ini bisa kugambarkan sebagai aku yang kalau melakukan apapun selalu lambat dan ogah-ogahan, juga berfisik lemah. Aku tak memasukkan penggambaran Deneb yang memiliki paras cantik dan menarik sehingga bisa memikat para dewa-dewi dengan tarian angsanya, karena memang tak sesuai denganku. Kirana tentulah lebih cantik jauh dibanding aku. Tapi, dalam suatu legenda Deneb adalah pahlawan bagi Orpheus, ini sesuai denganku yang selalu ingin melindungi semua orang yang kusayangi.
Terakhir adalah Altair dalam rasi Aquilla, tak salah lagi ia adalah Naj. Altair digambarkan sebagai sosok yang paling kuat dan berani diantara ketiganya. Ia tak lain adalah malaikat pelindung bagi kedua sahabatnya; Vega dan Deneb. Rasi Aquilla sendiri dapat diartikan sebagai elang, sehingga semua penggambaran Altair dan Aquilla adalah penggambaran Naj seutuhnya.
Di panti, hanya aku, Naj, dan Kirana yang bersekolah tingkat SMA. Anak panti lainnya masih di tingkat SMP, SD, dan kebanyakan belum sekolah. Tidak ada yang TK atau PAUD karena di panti ini ada kegiatan belajar khusus seperti sekolah TK dan sederajatnya, bunda panti sendiri yang mengajar. Dengan kegiatan ini, anak panti bisa langsung masuk SD tanpa harus sekolah TK. Mereka pun punya kecakapan sama, setidaknya telah kenal dua puluh enam huruf alfabet dan tahu satu tambah satu itu berapa. Kadang aku, Naj, dan Kirana ikut membantu mengajar sekedarnya, bila tak banyak tugas sekolah.
"Naj, cepat! Nanti terlambat." Aku sudah bersiap di teras, tapi Naj belum muncul juga. Entah sedang apa ia. Aku selalu berangkat sekolah bersama Naj, sedangkan Kirana sudah terlebih dahulu naik angkot. Alasan mengapa kami tak berangkat bersama adalah karena hanya ada satu vespa dan hanya bisa dinaiki berdua. Sedangkan sepeda, semua dipakai adik-adik panti kami yang masih SMP dan SD. Sudah jadi kebiasaan aku dan Naj tak pernah bisa berangkat begitu pagi mengikuti jadwal angkot yang selalu beroperasi jam enam pagi. Kami selalu saja kesiangan. Oleh sebab itu, Kirana yang mengalah. Nanti sepulang sekolah, baru giliran Kirana yang pulang bersama Naj karena aku pasti sudah terlebih dulu pulang sebelum mereka.
"Naj?"
"Iya!" Naj keluar terburu-buru sambil memakai dasi. Ia memakai sepatunya lalu menghidupkan vespa. "Ayo, Bi!"
Vespa ini benar-benar sudah tua, membawa aku dan Naj saja sudah batuk layaknya orang asma. Beberapa pekebun teh tampak memerhatikan kami gara-gara suara vespa dan asap tebal dari knalpotnya yang kuakui pasti mengganggu. Naj sebenarnya benci sekali asap knalpon vespa ini, katanya membuat polusi. Ia sedang menabung untuk memperbaiki sistem pembakaran kendaraan semata wayangnya ini. Sekitar lima menit, kami mampir sebentar ke rumah Mang Asep.
"Ini, Bi!" Naj memberikan uang sepuluh ribu padaku. Aku lalu turun dan mengucap salam di depan pintu rumah Mang Asep, semoga ia belum berangkat membagikan koran. Terdengar balasan salam dari dalam dan tak lama Mang Asep keluar. "Oh Binar, saya kira teh saha? Bentar Mamang ambilkan!"
Mang Asep masuk kembali ke dalam rumahnya, tak lama ia muncul lagi dengan segulung koran dan menyerahkannya kepadaku, "Terima kasih, Mang!"
"Sama-sama atuh!"
"Mang, tidak ada kabar apa-apa ya?" teriak Naj tanpa turun dari vespa.
"Belum, Jang! Nanti kalau ada teh, pasti Mamang kabari!" Aku melihat raut wajah Naj yang berubah.
"Ya sudah Mang, saya permisi ya? Mau ke sekolah," pamitku.
"Oh iya Neng, hati-hati."
Aku segera berlari menghampiri Naj setelah memasukkan koran ke dalam tas. Sepanjang jalan menuju sekolah Naj hanya diam, tak seperti biasanya. Aku mengerti. Setiap hari Naj selalu membeli koran dan membacanya, berharap ada satu petunjuk yang akan mengarahkan pada di mana ayahnya sekarang berada. Ia juga meminta tolong Mang Asep untuk mencari informasi tentang ayahnya. Tapi kenyataannya, sampai hari ini tak ada petunjuk itu.