Dari S semua bermula. S berjarak perjalanan 10 jam perjalan darat dari J. Jika J adalah pusat ekonomi dan pemerintahan yang vital, S hanyalah semacam kota satelit yang sulit berkembang. Pertengahan 2005, Lanang dan Kali menginjakkan kaki di S untuk pertama kali. S adalah tanah kelahiran Akar, sahabat mereka. Pada akhir tahun yang sama, mereka mestinya akan datang untuk menghadiri pernikahan Akar. Tapi, 148 hari menjelang hari H, Akar bertemu ajalnya. Ia mati setelah laporan investigasinya yang menggemparkan publik dan membuat merah banyak pasang telinga figur public di J, via majalah yang diterbitkan perusahaan media tempat ia bekerja sebagai jurnalis. Jasadnya ditemukan dengan tanda sebuah lobang berdiameter tak lebih dari 33 mm yang dibuat lesatan proyektil di pelipis kanannya.
Dua malam sebelum penembakan Akar, Kali lebih dahulu mendapat serangan dari orang tak dikenal, dengan air keras. Beruntung wajahnya selamat dari serangan itu. Kulit di lengan kanan dan kirinya mengalami luka bakar; meski tak terlalu parah karena saat kerjadian ia mengenakan jaket dan kacamata.
Dengan mobil kantor tempat Kali dan Akar bekerja, Kali dan Lanang mengikuti iring-iringinan mobil jenazah Akar. Lebih dari 9 jam perjalanan darat itu mereka tempuh dari J ke arah tenggara. Sepanjang perjalanan, Kali lebih banyak tidur karena dalam pengaruh obat. Sesekali mendusin, ia mengajak bicara supir yang didampingi Lanang di kabin depan.
Kali tak bisa bisa benar-benar tidur, hampir semua pembicaraan dua orang di kabin depan didengarnya. Juga pembicaraan tentang video mesum artis dangdut yang sedang naik daun dengan seorang pejabat senayan. Sopir itu, menirukan desahan perempuan yang menurutnya adalah teman ngajinya di kampung semasa bocah. Tak cukup di situ, supir itu mengaku tak heran dengan kelakuan mantan pacar pertamanya yang membuatnya kehilangan keperjakaan itu. Mendengarnya, Lanang terpingkal dan berkali-kali meloloskan umpatan cabul.
Lanang—tanpa Kali ketahui sejak awal—memilih pergi ke S daripada mengikuti sidang skripsi pada kesempatan terakhirnya. Di tengah suasana haru, di hadapan tanah basah kuburan Akar, dengan tangan yang terus memproduksi rasa perih dan nyeri, Kali menempeleng Lanang. “Goblok!” pekik Kali. Orang-orang yang belum beranjak setelah upacara pemakaman itu beberapa jenak memperhatikan mereka, tapi tak sampai turut campur karena keduanya tak bisa menahan emosi di dalam diri masing-masing. Mereka menangis dan berpelukan.
*
Seusai pemakaman, mereka bermaksud untuk kembali ke J sebagaimana rencana awal. Akan tetapi, mereka ditahan oleh keluarga Akar. Mereka diminta tinggal, paling tidak hingga malam ketiga, atau tujuh bila memungkinkan. Mereka tak punya pilihan selain harus menghormati permintaan tulus itu.
Dari kebetulan itulah, mereka kemudian tahu bahwa keluarga yang memperlakukan mereka demikian baik adalah paman dan bibi Akar. Sejak kecil, Akar menganggap paman dan bibinya itu sebagai ayah dan ibunya.
Kali melihat seorang dalam himpunan pelayat terus mematainya. Dialah Kinan, adik perempuan sepupu Akar. Dari KInan, Kali dan Lanang akan banyak mengetahui silsilah Akar yang subtil, tersimpan beku dalam diri sahabat mereka itu sepanjang hayat.
Setiap lepas subuh di S, Kali dan Lanang menziarahi ke makan Akar, untuk menyiram air dan bunga yang malam harinya sudah didoai orang-orang yang berkumpul di rumah mendiang dengan dipimpin seorang Kiai. Mereka pergi ditemani Kinan. Mereka tahu kemudian makam Akar bersebelahan dengan ibu kandungnya.
Sepertinya, ibunya hanya ditugasi semesta untuk merawat dan memelihara embrio Akar hasil buah cintanya dengan suaminya pada malam penuh kenangan itu. Sebelum kemudian melahirkan Akar dan hanya berselang beberapa menit kemudian datang ajalnya.
Akar lahir di atas lincak, di rumah yang sangat sederhana, dibidani seorang dukun kampung. Akar sepertinya ogah berlama-lama semedi dalam rahim ibunya. Seolah ia ingin segera bertarung dengan dunia yang keras dan bengis. Dunia yang ia cintai. Tapi, dunia yang juga merenggut nyawanya.