Kapan dan Bagaimana Hidup Mesti Diakhiri

Mufti Wibowo
Chapter #2

Dua

Lidah Kali berasa kelu, rasa perih menyerang luka bakar yang menandakan sudah tiba waktunya memasukkan obat-obat kimia itu ke dalam tubuhnya. Ia tersenyum geli menyadari dirinya begitu tergantung dengan obat-obat itu. Ia menahan rasa sakit itu, di tengah pembicaraan Lanang dengan Kinan. Ia merasa mual dan susahpayah berdiri dari posisi jongkok setelah menabur air bercampur bunga mawar dan kenanga. Pandangannya mendadak disergap ribuan kunang-kunang yang bercahaya terang menyilaukan. Lalu gelap seketika. 

Bau minyak gosok membangunkan Kali beberapa jam kemudian. Sekujur badan terasa hangat karena lumuran minyak itu. Celana jeansnya telah berganti sarung yang longgar di pinggang.

“Sejak kapan kamu bisa memijit?”

“Kamu masuk angin. Jadi, tadi malam tak tidur?”

“Aku menghisap beberapa batang rokok.”

“Satu bungkus besar kamu habiskan!”

“Kematian Akar hanya akan dianggap kasus kriminal biasa. Semalam seorang kawan di J bertelpon.”

“Bagaimana dengan kasusmu?”

“Aku menolak membuat laporan ke polisi seperti yang dianjurkan Akar. Aku tak mengira akan sejauh ini. Bodoh memang.”

“Kamu tak boleh mati seperti Akar, aku berjanji.”

“Setiap laki-laki menginginkan kematian seperti itu. Kamu tahu sendiri itu.”

“Tahi betul hidup ini kan? Pantas saja Akar memilih mati lebih cepat.”

“Kamu kerok punggungku ya.”

*

Kali menolak ajakan Lanang dan Kinan pergi. Ia memilih tinggal di rumah. Sialnya, ia justru dihinggapi merasa bosan. Dia berjalan menyusuri jalanan kampung tampak baru sekali kena aspal. Di tempat yang menguarkan aroma kopi dan gorengan itulah langkahnya terhenti. 

Di salah ia berkenalan dengan Dorwa, laki-laki bersahaja yang menaruh hati pada Kinan. Dengan terus-terang Dorwa mengaku tak senanga mengetahui kedekatan Kinan dengan Lanang. Lebih dari itu, Dorwa keberatan mengetahui rencana Kinan berhijrah ke J setelah lulus SMA—saa itu Kinan sudah kelas 3. Dorwa tak ingin Kinan menjadi wanita modern sebagaimana Akar yang hanya berujung membawanya pada ajal. Dorwa tak rela perempuan yang hingga saat itu belum juga mengiyakan—karena tak mau dikatakan ditolak mentah-mentah—ajakannya menikah digoda Lanang yang punya modal tampang intelek. Di mata Kali, Dorwa justru tampang fisik yang lebih oke dari sahabatnya yang hampir setiap malam mabuk itu. 

Dorwa menjamu Kali selayaknya teman karib yang berpuluh tahun tak berjumpa, sebuah keramahan yang tampak dilebih-lebihkan. Kali dipesankannya kopi dan sepiring mendoan dengan rawit hijau. Setelah membuka segel bungus baru, Dorwa meloloskan sebatang rokok lalu meletakkannya dalam jangkauan Kali sebagai tanda mempersilakan. 

Sepanjang pembicaraan, hampir dalam setiap kalimatnya Kali dengar umpatan kasar S. Telinganya memang tak asing dengan umpatan yang bisa berlompatan dari dari mulut Akar jika sedang mabuk. 

Kali yang muak dengan perlakuan Dorwa mendadak tersihir oleh dongeng Dorwa. Dorwa mengaku itu adalah pengalaman hidupnya yang paling penting dan berharga. Semacam kekayaan yang tak terukur dengan uang.

Kunkun dan Dorwa terlepas dan berhasil kembali menjadi seorang bebas. Mereka seolah terlahir dari kematian yang sementara itu untuk menyiarkan kebenaran dan kemenangan mereka sebagainama Gajah Mada bagi imperium Majapahit, sebagaimana Diponegoro bagi tanah Jawa. Meski mereka tak memperolehnya dengan turun ke medan Kurusetra, tapi mereka tetaplah layak disebut sebagai pemenang. Menang karena merekalah yang membuktikan kekuatan alam yang berpihak pada ketulusan, kesetian, juga cinta. 

Dorwa berhenti bicara dan sekali lagi melososkan sebatang rokok dari bungkusnya, dan menawarkan pada Kali dengan gerakan naik sebelah alisnya. 

Disemburkan asap itu sembari melanjutkan bicaranya, sebagian sedikit asapnya keluar melalui lubang-lobang hidung Dorwa yang sekilas mengingtkan Kali pada babi. 

Sepintas Dorwa melirik Kali, seakan memastikan bahwa Kali telah terkena umpan yang ia pasang. Kali tak mempedulikan lagi apa yang ada di dalam kepala Dorwa kalau-kalau sedang menertawakannya. Ia benar-benar tertarik dengan cerita itu. 

Karena dunianya tak mensyaratkan apapun yang tak dimiliki Kunkun untuk dianggap hadir dan diakui, dia merelakan dirinya untuk ditempa dunia yang telah berkenan menerimanya sebagai bagiannya. Sehingga, dia tak pernah merasa sendiri dan asing dalam hidupnya. Sederhana, namun indah bukan?

Setiap orang membicarakannya dengan penuh decak, Kunkun bukan lagi hanya anak ingusan benih Kasim. Semua mereka tiba-tiba menarik sejauh-jauhnya, sekuat-kuatnya, agar ada garis penghubung nasab dengan Kunkun yang baru saja ditahbiskan sebagai pahlawan sebagaimana Diponegoro atau Gajah Mada itu. Apalagi, kalau bukan karena dia sudah membuka jalan bagi orang-orang yang serba melihat dunia dari sudut yang remang dan temaram. Diterokanya jalan membongkar mitos di S yang melibatkan sosok ampuh bernama Jumawa. Usia Kunkun hanya sepertiga usia Jumawa. Di tangannya Jumawalah segala urusan, hajat hidup penduduk S diatur dan diputus. Terlalu sedikit yang berani mengambil langkah mengabaikan atau menentang fatwanya. Dari sedikit itu, ganjarannya adalah malapetaka. 

“Kita tak boleh lupa Darsun, si celaka karena bambu Kemit itu,” terang Dorwa sebagai karib memberi pertimbangan pada Kunkun. 

Tak banyak yang bisa memahami peristiwa itu sebagai sesuatu yang sama sekali tidak tabu untuk digunjingkan. Di antara sedikit orang yang melihat dengan jernih peristiwa yang menimpa keluarga Darsun itu adalah Kasim, ayah Dorwa. Pengetahuan yang diwariskan pada anak laki-lakinya itu sebelum mati. 

Kunkun tahu, Darsun tak menanggung dosa apa pun. Jika ia melanggar fatwa Jumawa untuk menebang rumpun bambu di Sendang Kemit untuk membangun rumah di tengah musim penghujan itu perkara lain. Jumawa memintanya menunda pekerjaan itu selama paling tidak tiga bulan, itu berarti sudah pertengahan musim kemarau. 

Lihat selengkapnya