Aku selalu mengira bahwa keluargaku baik-baik saja, keluargaku sama dengan keluarga lain. Tapi semenjak aku bicara dengan suara dalam kepalaku, aku mulai melihat ada yang janggal dengan keluargaku. Ayahku tersenyum pada kami tapi dari matanya, aku melihat ayahku seolah tak menginginkan kami. Ibuku juga begitu. Ibuku tersenyum tapi dari matanya, aku melihat ada banyak kesedihan di sana.
Sejak lama aku sudah menangkap perasaan itu.
Awalnya aku tak tahu. Tapi lama-lama, aku memilih mengabaikan perasaanku itu dan berbohong pada diriku sendiri.
Dan takdir tetap terjadi.
Apa yang aku lewatkan, apa yang aku abaikan, apa yang harusnya aku terima, akan tetap terjadi.
*
“Ke-kenapa Ibu mau cerai?” tanya Rari.
Perasaan Rari sekarang benar-benar tak bisa dijelaskan olehnya. Rari panik, jelas. Gugup, jelas. Takut, jelas. Khawatir, jelas. Tapi di antara semua perasaan itu, ada satu perasaan besar yang ada dalam hatinya: kecewa. Rari bukannya kecewa pada Arti-ibunya, melainkan kecewa pada dirinya sendiri karena selama dirinya melihat apa yang dirasakan ibunya tapi memilih mengabaikannya.
“Kamu tahu, Rari. Ibu selama ini selalu berharap pada satu kalimat ini: ‘Mungkin Ayahmu bisa berubah’. Selama ini Ibu berharap pada banyak kesempatan bahwa Ayahmu akan berubah. Tapi setelah 20 tahun pernikahan Ayah dan Ibu, setelah banyak kesempatan terlewati, Ayahmu masih tetap saja tidak berubah.”
Mendengar ucapan Arti-ibunya, Rari terdiam. Kepalanya berpikir dan berusaha memahami apa yang didengarnya.
“Lakukan seperti yang aku ajarkan!” Suara dalam kepala Rari, bicara padanya dan memberi tuntunan. “Semua kejanggalan yang kamu rasakan selama ini, kumpulkan dan kamu bisa menarik kesimpulan yang ada.”
Rari melakukan apa yang diperintahkan oleh suara dalam kepalanya. Rari mengumpulkan semua ingatannya sejauh yang bisa diingatnya. Mulai dari pertengkaran Ayah dan Ibunya yang dilihatnya sejak kecil, sikap dingin antara ayah dan ibunya, sikap Ayahnya yang tidak biasa ketika Nenek dari ayahnya datang berkunjung, perasaan Rari yang selalu dijadikan nomor kesekian ketika Nenek dari ayahnya datang berkunjung, hingga perasaan tak enak ketika dulu ayahnya selalu membawanya ke bank sepulang sekolah.