Selama ini … aku mengira keluargaku baik-baik saja. Tidak seperti keluarga lain, Ayah dan Ibuku jarang terlihat bertengkar atau bahkan adu mulut di depan umum seperti kebanyakan tetangga di dekat rumahku. Banyak tetangga yang bahkan menyebut Ayah dan Ibuku sebagai pasangan yang paling harmonis di lingkungan kami.
Tapi aku salah.
Tetanggaku juga salah.
Baik Ayah dan Ibuku adalah pemeran yang sangat baik. Karena mereka berhasil menyembunyikan masalah rumah tangganya dengan baik dan bersikap seolah tidak ada apapun yang terjadi ketika keluar dari rumah dan ketika berada di depan anak-anaknya.
Ibuku adalah pemeran terbaik untuk kategori protagonis, sementara Ayahku adalah pemeran terbaik untuk kategori antagonis karena ada banyak orang yang tidak percaya apa yang dilakukan Ayahku pada Ibuku selama pernikahannya.
Tes, tes!
Rari meneteskan air matanya hanya mendengar sedikit cerita Arti-ibunya mengenai hari-hari pernikahannya bersama dengan Saeful.
“Maaf, Ibu buat kamu nangis, Rari.” Arti-Ibu Rari menghapus air mata di wajah Rari, menghela napas sebelum bertanya pada Rari. “Apa kamu keberatan Ibu cerai sama Ayahmu?”
Apa aku keberatan? Rari bertanya pada dirinya sendiri.
“Kamu keberatan?” Kali ini yang bertanya adalah suara dalam kepala Rari. “Kenapa kamu keberatan?”
Apa aku enggak boleh keberatan? Rari berbalik bertanya.
“Apa kamu lupa dengan yang aku ajarkan selama ini.”
Soal apa?
“Ketika melihat dan memperhatikan orang-orang, aku memintamu untuk menilai. Sembari menilai, aku juga memintamu untuk membayangkan jika kamu di posisi mereka. Jika sekarang aku balik dan kamu yang ada di posisi ibumu, apa kamu akan sanggup hidup bertahan seperti yang ibumu lakukan?”
Apa aku sanggup bertahan seperti yang Ibu lakukan? Rari bertanya pada dirinya sendiri ketika tanpa sadar membayangkan apa yang dikatakan suara dalam benaknya. Rari membayangkan dirinya dalam posisi ibunya dan mengingat bagaimana tatapan mata ibunya yang dulu sering mengganggu perasaan Rari ketika melihatnya.
Tatapan Ibu dulu, kupikir itu adalah tatapan sedih.
Dan ternyata tatapan itu memang tatapan sedih, tapi bukan hanya rasa sedih. Ada perasaan lain di sana, mungkin itu tersiksa, mungkin juga sakit.
Mana yang benar, aku enggak bisa menebaknya dengan tepat, karena bukan aku yang ada di posisi itu.
“Apa kamu sudah dapat jawabannya, Rari?” Suara dalam kepala Rari bertanya lagi pada Rari.
Sudah.
“Jawabannya?”
Aku enggak sanggup.