Kapan Nikah?

mahes.varaa
Chapter #15

HIDUP TANPA AYAH PART 2

Sewaktu sekolah, aku berangkat ke sekolah dengan naik becak bersama dengan adikku-Novi dan temanku-Riang. Kalo tidak salah mulai aku kelas tiga SD, aku sudah naik becak ke sekolah yang memakan waktu sekitar setengah jam perjalanan.

Ayah beralasan jam sekolahku terlalu pagi dan Ayah tidak bisa mengantar karena masih terlalu mengantuk.

Dulu … aku tidak paham dan hanya menerima saja keadaan itu karena aku senang bisa bersama dengan teman saat berangkat sekolah. Ditambah lagi Riang kadang mengajak kakak atau sepupunya saat naik becak dan keramaian itu, aku sangat menyukainya.

Tapi suatu hari ada lubang di hatiku yang muncul ketika melihat teman-temanku yang diantar dan dijemput orang tuanya saat pulang sekolah.

Aku iri pada mereka yang segera bertemu dengan orang tua mereka selepas sekolah sementara aku baru bisa bertemua Ayah dan Ibu sore hari setelah mereka bekerja.

Tapi aku memendam rasa iri itu dalam-dalam dan mengubahnya menjadi senyuman karena selama aku masih punya teman, aku pasti akan melupakan perasaan itu.

Tapi saat umurku 14 tahun, perasaan itu muncul lagi dan meluap dengan cara yang tak aku duga.

Aku sering pulang saat SMP karena kegiatan sekolah. Temanku ada yang bawa kendaraan sendiri dan ada juga yang dijemput orang tua mereka. Tapi di antara mereka semua, hanya aku-anak perempuan yang tidak dijemput ayahnya, tidak diberi kendaraan untuk pulang dan dibiarkan untuk pulang dengan angkot.

Suatu hari temanku sekaligus tetanggaku berbaik hati memberiku tumpangan karena sudah terlalu malam untuk menemukan angkot.

Begitu tiba di rumah, Ayah langsung memarahiku.

“Rari! Kenapa enggak bilang kalo pulang malam?? Ayah kan bisa jemput!”

Aku kesal setengah mati mendengar pertanyaan itu karena hanya dengan melihat mata Ayah, aku tahu Ayah marah bukan karena aku tidak mengabari bahwa aku pulang malam, tapi karena Ayah malu pada ayah temanku yang hanya punya motor lawas dan memberiku tumpangan sementara Ayah punya mobil di rumah.

Aku kesal setengah mati karena sudah seharian aku sekolah dan lelah, dan begitu sampai rumah aku dimarahi hanya karena perasaan malu Ayah. Jadi malam itu aku menumpahkan semua perasaanku yang selama ini aku pendam.

“Yah, dengar! Aku pulang malam kayak gini tiap minggu dan sudah setengah tahun lamanya, Yah! Tanpa harus aku bilang, sampai jam segini aku belum pulang, harusnya Ayah cemas dan cari aku di sekolah! Tapi begitu sampai rumah, Ayah malah marah sama aku karena aku enggak bilang pulang malam? Yah aku tanya, Ayah marah sama aku karena enggak bilang pulang malam atau Ayah marah karena malu sama ayah temanku yang ngasih tumpangan sama aku sementara Ayah cuma duduk di ruang tamu baca koran?”

Ayah mendadak diam tidak bisa menjawab pertanyaanku. Jelas terlihat dari rautnya, Ayah tak pernah mengira aku yang biasanya diam menerima keadaan, akan memutar ucapannya dengan cukup baik. Tapi nyatanya, ucapanku tidak salah dan aku sama sekali tidak merasa bersalah soal itu karena apa yang aku katakan tergambar jelas di wajah Ayah.

Aku rasa semenjak hari itu, Ayah akan sangat berhati-hati bicara padaku. Ayah sama sekali tidak menduga aku-anak pertamanya yang biasa diam, patuh, menerima dan mengalah karena posisiku sebagai kakak, ternyata bisa membalas ucapannya di umurku yang baru 14 tahun.

 

Hari ini, 2024.

Tok, tok!

“Rari!”

Rari yang tadinya tertidur, langsung membuka matanya ketika mendengar ketukan pintu kamarnya dan suara Arti-ibunya yang memanggil-manggil namanya.

“Ya, Bu.”

Rari buru-buru bangun dari tidurnya, turun dari ranjangnya dan membuka pintu kamarnya.

Lihat selengkapnya