Kapan Nikah?

mahes.varaa
Chapter #17

ALASAN PART 1

Setiap kali melihat orang menangis di pemakaman, aku selalu bertanya-tanya: apakah aku juga akan menangis seperti mereka ketika orang di dekatku pergi?

Tapi beberapa kali datang ke pemakaman saudara-saudaraku, aku sama sekali tidak menangis.

Tidak bisa menangis di pemakaman, aku mempertanyakan diriku: Ada yang salah denganku. Kenapa aku tidak menangis seperti mereka?

Seperti biasa, suara dalam kepalaku akan bicara padaku menanggapi pertanyaanku. “Kamu enggak aneh, Rari. Kamu mengantar mereka yang pergi bukan dengan tangisan adalah hal yang baik.”

Kenapa begitu?, tanyaku.

“Karena mereka yang pergi masih melihat kita. Jika kita menangis, maka hati mereka akan lebih sakit dan lebih tidak rela untuk pergi. Tidak menangis di pemakaman bukan hal yang aneh, Rari.”

Aku mengangguk setuju dengan suara dalam kepalaku. Tapi … benakku kembali membayangkan jika salah satu dari keluargaku: ibu atau dua adikku, pergi lebih dulu dariku, aku tidak yakin akan bisa menahan air mataku di pemakaman mereka.

 

 Dinginnya! Rari mengawali harinya dengan jaket tebal di tubuhnya dan sandal lengkap dengan kaos kaki di kakinya.

Setelah satu setengah jam duduk di meja kerjanya, mengetik apa yang dalam kepalanya ke laptopnya, Rari mematikan laptopnya dan bersiap melakukan rutinitas hariannya. Pertama, Rari membersihkan kamarnya sendiri: mulai dari tempat tidur, hingga menyapu lantainya. Setelah selesai dengan kamarnya, Rari keluar dari kamarnya menuju samping kamar mandinya untuk mencuci baju.

Selesai dengan baju, Rari membereskan meja makan dan mencuci piring dan gelas di dapur. Setelah selesai dengan cuci-mencuci, Rari lalu menyapu rumah dan terakhir mengepelnya. Kegiatan Rari itu biasanya dimulai sekitar jam enam pagi dan selesai sekitar setengah delapan. Segera setelah semua kegiatan itu, Rari pergi membersihkan dirinya dan segera mengambil wudhu untuk solat duha.

“Innalilahi wa innalillahi rojiun.”

Begitu Rari menyelesaikan solat duhanya, Rari mendengar pengumuman dari masjid di dekat rumahnya yang sedang mengabarkan kabar duka.

Ternyata benar, ada yang meninggal. Pantas saja dingin sekali.

Mendengar pengumuman kabar duka, Rari mengingat kenangannya di tahun 2016 di mana Neneknya dari Ayahnya-Saeful meninggal dunia.

 

Tahun 2016.

Di bulan Januari, Rari akhirnya bekerja di kota P. Setelah istirahat selama hampir setahun lamanya karena tangan kanannya yang patah dan menjalani operasi dua kali, Rari mencari kerja selama tiga bulan dan akhirnya diterima bekerja.

Kota P dari Kota Bi, jaraknya cukup jauh, sekitar 3-4 jam perjalanan jika lancar. Hanya saja dari kota P menuju ke kota Bi, harus transit di kota M dan ganti bis menuju kota Bi.

Alasan Rari memilih kota P yang sedikit jauh dari kota karena kota itu berada tepat di tengah-tengah antara kota Bi dan kota J-kota kelahiran Rari.

“Setelah kamu dapat kerja dan Ibu berhasil kumpulin uang, Ibu dan Putra akan kembali ke kota J.”

“Kenapa kita kembali, Bu?”

“Di sana masih ada dua aset: rumah dan tanah peternakan. Ayahmu mungkin berniat menjualnya dan tidak menyisakan sedikit pun untuk kalian bertiga. Tapi sekarang masih ada Ibu! Rumah dan tanah itu, Ayahmu beli dengan hasil kerja Ibu. Jadi Ibu masih punya hak dan kalian bertiga adalah anaknya, kalian juga punya hak. Setelah semua Ayahmu habiskan demi Ibunya, dua aset itu akan Ibu pertahankan demi kalian bertiga.”

Karena ingat dengan ucapan Arti-ibunya itu, Rari berusaha mencari tempat kerja yang mana ketika dirinya pulang tidak akan kesulitan meski Arti-ibunya sudah kembali ke kota J.

Drrt, drrt!

Dua bulan setelah bekerja di kota P, Rari yang sedang bekerja mendapat panggilan masuk dari Putra. Karena sedang bekerja, Rari tidak bisa menerima panggilan. Jadi sebagai gantinya, Rari mengirim pesan pada Putra.

Rari: ada apa?

Putra: Ayah enggak kirim pesan?

Lihat selengkapnya