Beberapa temanku bilang aku terlalu naif. Adikku-Novi juga pernah bilang kalau aku juga kadang terlalu naif.
Kuakui, kadang aku memang terlalu naif. Aku kadang lupa bahwa cara orang lain menerima masalah, berbeda dengan caraku menerima masalah.
Hal yang sama berlaku untuk Putra-adik bungsuku yang kelihatan selalu diam dan menerima. Dibandingkan dengan Novi yang cukup sering membuat ulah dan sering kali membuat Ibu senam jantung, Putra cukup membuat Ibu tenang.
Tapi aku lupa bahwa di antara kami, Putra-lah yang paling banyak memiliki kenangan buruk tentang keluarga karena waktu Putra lahir, aku sudah merasakan ada yang tidak beres dengan Ayah dan Ibu. Bisa dikatakan bahwa Putra tak punya banyak kenangan bahagia tentang keluarga.
Harusnya … sejak lama aku tahu bahwa apa yang terjadi pada Ayah dan Ibu, harusnya juga berimbas pada Putra-adik bungsuku yang kelihatan diam.
Tahun 2010.
Di tahun itu, Rari yang pulang lebih awal dari sekolah karena ada kegiatan sekolah terkejut mendapati ayahnya-Saeful sedang memandang tajam pada Putra.
“Bu, ada apa?” Rari berbisik bertanya pada Arti-ibunya karena penasaran dengan apa yang terjadi di rumah.
“Nanti saja, Ibu jelaskan. Masuk ke kamarmu dan jangan keluar.”
Rari sebagai anak yang patuh pada orang tua, hanya bisa mengikuti perintah Arti-ibunya dan masuk ke kamarnya. Tapi sebelum masuk ke kamarnya, Rari melihat ke arah Putra yang menundukkan kepalanya.
Kret!
Ada apa dengan adik?
“Menurutmu apa yang sedang terjadi?” Suara dalam kepala Rari seperti biasa berbalik bertanya pada Rari seperti seorang detektif.
Kalo aku tahu, aku enggak akan bertanya. Rari membalas.
“Apa kamu enggak bisa menebaknya hanya dengan melihat tatapan tadi, Rari?”
Gimana denganmu sendiri? Kamu bisa menebaknya enggak? Rari berbalik bertanya dengan harapan mendapatkan jawaban.
Tapi suara dalam kepala Rari itu sepertinya lebih cerdas dari Rari. “Aku bisa menebaknya. Masalahnya sekarang, apa kamu bisa menebaknya juga, Rari?”
“Sekarang bilang sama Ayah! Jangan bohong! Kamu kan yang ambil uang Ayah?”
Dari balik pintu kamarnya, Rari mendengar suara Saeful-ayahnya yang sedang menaikkan nada bicaranya pada Putra.
“Enggak, Yah.”
“Ayah bilang jangan bohong sama Ayah! Kalo bukan kamu yang ambil, dapat dari mana kamu beli mobil mainanmu itu?? Mainanmu itu harga satunya 50ribu. Jangan pikir Ayah enggak tahu!”
“…”
Kali ini Rari tidak mendengar sanggahan Putra-adiknya seperti sebelumnya.