Aku dulu tak memahami kenapa manusia harus berdoa.
Aku juga dulu tak memahami kenapa manusia tak bisa melihat Allah.
Agama dan kepercayaan yang aku anut adalah warisan dari Ayah dan Ibu. Mereka kemudian memasukkanku di sekolah swasta yang berbasis agama. Di sana aku mempelajari banyak pelajaran terkait agama di samping perlajaran umum, bahkan juga ada pelajaran khusus memperdalam kitab.
Dulu Ibu dan guru di sekolah selalu menekankan untuk berdoa dalam situasi apapun.
Dulu aku tak mengerti karena tak melihat dari doa-doaku ada yang terkabul. Tapi seiring berjalannya waktu, seiring aku bertumbuh, aku mulai sadar bahwa doa-doaku mulai terkabul. Entah itu doa kecil atau sekedar gumaman batin, atau doa besar yang benar-benar kuharapkan untuk dikabulkan, doa-doa itu mulai dikabulkan dengan cara-cara yang kadang tak bisa aku pikirkan.
Dari situ aku mulai paham, aku tak perlu melihat dan bertemu langsung dengan Allah ketika meminta sesuatu pada-Nya.
Aku hanya perlu berdoa dalam hati dan menunggu waktu yang tepat agar doa itu dikabulkan dalam bentuk yang aku inginkan atau dalam bentuk yang lain.
Dibandingkan dengan Ayah yang selalu memberi janji padaku dan melupakan janji itu seperti buih di lautan, aku lebih percaya pada Allah.
Aku mungkin harus menunggu lama untuk mendapatkan apa yang aku minta dalam doaku, tapi satu kepastiannya adalah Allah pasti mengabulkan doaku dan Allah tidak melupakan doaku seperti Ayah yang selalu melupakan janjinya padaku.
Arti-Ibu Rari bicara empat mata dengan Putra-adik bungsu Rari. Keduanya bicara untuk waktu yang lama dan Rari hanya melihatnya dari ruang tam sesekali.
Ayah emang beda sama Ibu, batin Rari.
Melihat bagaimana Arti-Ibunya bicara dengan Putra-adiknya, Rari teringat sekali lagi dengan kenangan lamanya di mana Putra dimarahi oleh Saeful-ayahnya sepuluh tahun yang lalu.
“Jelas mereka beda, Rari! Ibumu selalu membuat anaknya di posisi pertama sebagai prioritasnya. Di mata ibumu, kalian bertiga adalah hartanya yang paling berharga. Sementara Ayahmu, sama sekali tidak menganggap kalian penting seolah kalian bukan darah dagingnya sendiri.”
Kamu benar. Rari setuju dengan apa yang dikatakan suara dalam kepalanya karena melihat bagaimana Arti-ibunya sedang bicara empat mata dengan Putra-adiknya dan sama sekali tidak menaikkan nada bicaranya sama sekali. Arti-ibunya sama sekali tidak menatap tajam kepada Putra apalagi menatap Putra dengan tatapan menyalahkan seolah kesalahan Putra adalah kesalahan besar yang tak termaafkan seperti yang selalu dilakukan Saeful ketika marah pada Rari dan dua adiknya.
“Adikmu mungkin sudah membuang uang banyak dalam dua bulan ini. Tapi jangan menyalahkannya. Ibu paham kenapa Putra melakukan itu.” Setelah percakapannya dengan Putra, Arti meminta Putra untuk diam di kamarnya memikirkan baik-baik kesalahannya. Sementara itu Arti bicara dengan Rari dan Novi, menjelaskan percakapannya dengan Putra tadi.
“Kenapa, Bu?” tanya Rari.
“Kamu tentu tahu Putra-adikmu terlibat masalah perceraian Ibu saat masih muda sekali kan?”
“Ya, Bu.” Rari dan Novi menganggukkan kepalanya.
Dari sanalah Rari mengetahui apa yang selama ini terjadi pada Putra. Pertama Putra-adiknya itu adalah anak yang terlalu diam di masa lalu. Apa yang ada dalam hatinya, tidak banyak dikatakanny. Termasuk dengan kebenciannya pada Saeful dan apa yang dialaminya semasa SMP.
Putra membenci Saeful dengan teramat sangat bahkan rasa benci itu hampir mandarah daging. Kebencian yang teramat sangat itu membuat Putra tanpa sadar meniru Saeful dalam beberapa hal terutama hal buruk.