Kapan Nikah?

mahes.varaa
Chapter #28

ENGGAK MAU NIKAH? PART 1

“Kenapa Mbak enggak pacaran?”

Di masa lalu, Novi sering menanyakan pertanyaan ini padaku.

Saat aku SMA, Novi pertama kalinya mengajukan pertanyaan itu ke aku.

Dulu, aku tidak menjawab. Saat itu, aku menyukai seorang anak laki-laki tampan dan populer di sekolah yang juga teman sekelasku. Tapi nyaliku langsung ciut ketika sering kali mendengar omngan tetangga, teman ibuku yang selalu membandingkanku dengan adikku.

Saat aku kuliah, Novi kembali mengajukan pertanyaan yang sama padaku.

Jawabanku saat itu adalah aku sibuk mengurus keluarga membantu, tidak punya waktu untuk sesuatu yang menguras tenaga dan pikiranku.

Saat aku bekerja, Novi kembali mengajukan pertanyaan yang sama padaku.

Jawabanku saat itu adalah aku ingin Putra lulus kuliah dulu.

Dan belum lama ini, Novi kembali mengajukan pertanyaan yang sama padaku.

Aku tidak bisa menjawabnya. Aku cuma diam karena jawaban untuk pertanyaan itu menurutku terlalu banyak.

Novi kemudian mengganti pertanyaannya dengan pertanyaan yang lain. “Mbak enggak pengen nikah?”

Ingin, tapi …. Aku hanya membatin menjawab pertanyaan itu karena belum lama ini, aku baru saja menemukan alasan kenapa semenjak lama aku tak bisa menerima perasaan dari beberapa pria yang berniat untuk serius denganku.

 

Sewaktu Novi dirawat di rumah sakit selama dua minggu lebih, Rari melihat Dokter Ian memang mudah akrab dengan banyak orang terutama para perawat. Mungkin karena orangnya yang ramah dan mungkin juga karena wajahnya yang rupawan, jadi ada banyak perawat terutama wanita yang dekat dan ramah dengan Dokter Ian.

Masalahnya sekarang kenapa Dokter Ian terus mengusik Rari?

Semenjak Novi keluar dari rumah sakit dan menjalani rawat jalan untuk luka bekas operasi hingga kemoterapinya, Rari terus melihat Dokter Ian setiap kali datang ke rumah sakit.

Rumah sakit ini besar sekali dan Dokter Ian adalah dokter yang residen yang harusnya sibuk, tapi kenapa aku terus bertemu dengannya??

Setiap kali bertemu dengan Dokter Ian, Rari terus mempertanyakan hal itu dalam benaknya dan jawaban untuk pertanyaan itu muncul hari ini.

“Mbak!”

Hampir seharian sibuk dengan laptopnya dan ditambah lagi dengan beberapa orang yang mengajaknya bicara, tanpa sadar waktu berlalu dengan cepat. Rari terkejut melihat Novi menghampirinya di ruang tunggu padahal biasanya Rari akan dikirimi pesan dari Novi yang mengatakan bahwa kemonya sudah selesai.

“Loh?? Kok enggak kirim pesan?” Rari meletakkan laptopnya dan langsung menghampiri Novi.

“Halah, Mbak! Udah beberapa kali kemo, masak iyah enggak bisa sendiri! Kan cuma jalan ke sini, cuma berapa langkah! Enggak sampe 100 langkah aja, Mbak!”

Seratus langkah yang diucapkan Novi itu hanyalah pengandaian. Tapi Rari menanggapinya dengan serius.

“Kamu hitung beneran, Nov? Kamu kan paling malas dengan hal-hal kayak gitu.” Rari menuntun Novi duduk di ruang tunggu di mana ada Dokter Ian dan keluarga lain dari pasien yang juga menjalani kemoterapi.

“Ya enggaklah, Mbak!” Novi menjawab sembari tersenyum menyapa Dokter Ian dan keluarga pasien yang lain.

“Kirain! Kalo kamu hitung, ada 58 langkah dari ruang tunggu ke ruang kemoterapi,” Rari menjawab.

“Eh? Mbak hitung beneran?”

Lihat selengkapnya