Kapan Nikah?

mahes.varaa
Chapter #30

ENGGAK MAU NIKAH? PART 3

Sama seperti Putra, aku juga membenci Ayah.

Aku memang membencinya tapi tidak membuat rasa benci itu berada dalam hatiku terus menerus dan kemudian merusakku seperti yang terjadi pada Putra.

Aku membenci Ayah dalam batasan yang wajar. Selama aku tidak melihatnya, aku akan baik-baik saja. Lalu caraku membenci Ayah, berbeda dengan cara Putra.

Jika sedang sangat kesal, Putra akan mengumpati Ayah dengan berbagai sebutan dan amarah yang menyala-nyala.

Tapi aku tidak begitu.

Aku bersikap biasa saja seolah tidak ada yang terjadi. Tapi dalam hatiku, aku membuat  sebuah janji. Karena Ayah membuang kami sebagai anak dan melalaikan kewajibannya sebagai ayah, maka aku akan membalas Ayah dengan cara yang sama: aku akan membuat Ayah kehilangan haknya sebagai Ayah dan tidak bisa berdiri sebagai Ayah.

Dan ini adalah alasan terbesarku hingga sekarang aku belum menikah. Alasan ini juga adalah rahasia yang aku simpan rapat-rapat dari Ibu, Novi dan Putra.

 

Enam hari setelah Novi menjalani kemoterapi.

Hari ini adalah hari terakhir Rari di kota S. Besok Rari harus pulang ke kota J karena masih harus menjaga Arti-ibunya yang sendirian di rumah. Selama hampir setengah tahun, Rari terus hidup begini: satu minggu di kota S dan dua minggu di kota J. Berkat itu, Rari kadang-kadang merasa sedikit muak. Bukan karena tidak mau menjaga adik dan ibunya, tapi karena Rari tidak suka dengan kota S yang cuacanya panas, jalanannya macet dan banyak lingkungan kumuhnya. Sementara di kota J, udaranya selalu terasa sejuk meski matahari bersinar terik di langit. Semacet-macetnya kota J, tidak akan semacet kota S. Dan terakhir lingkungan kumuh di kota J, mungkin hanya seperdelapan dari kota S.

Perubahan cuaca yang terjadi berulang kali itu setiap kali Rari pindah kota, membuat Rari mudah sakit. Dari sering masuk angin, diare dan kadang nafsu makannya berkurang drastis.

Karena besok kereta Rari berangkat jam setengah enam pagi dan Rari harus berangkat ke stasiun sekitar jam setengah lima pagi, hari ini tepatnya di sore hari Rari mampir ke minimarket di dekat kos Novi untuk membeli roti sebagai pengganjal perutnya buat besok pagi saat di stasiun dan di kereta.

“Ada membernya, Kak?”

Rari yang telah memberi roti tawar, beberapa makanan kecil dan es krim, ke kasir untuk membayar apa yang dibelinya. Kasir meminta kartu anggota pada Rari sebelum menerima pembayaran dari Rari untuk belanjaannya.

“Ada, Mbak.” Rari mengambil kartu anggota dari dompetnya, menyerahkannya ke kasir dan berniat segera membayar belanjaannya karena mendadak dari arah pintu masuk, Rari melihat Dokter Ian.

Sial! Kenapa berapa hari ini dia terus menghantuiku??

“Mbaknya Novi.”

Rari tadinya berniat untuk bersikpa seolah tidak melihat Dokter Ian. Tapi sebelum Rari melakukan hal itu, Dokter Ian sudah keburu menyapanya dengan suara yang cukup kencang, lengkap dengan senyum khasnya yang kata banyak perawat adalah senyum yang memesona.

Sial! Dokter Ian bahkan lebih menyebalkan dibanding hantu gentayangan yang terus menempel!

“Ki-kita ketemu lagi, Dok.” Rari mau tidak mau menyapa Dokter Ian yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya.

“Iya, kita ketemu lagi. Berapa hari ini sepertinya kebetulan terus ada di antara kita. Aku dan Mbaknya Novi terus tidak sengaja ketemu.” Dokter Ian bicara sembari melirik ke arah belanjaan Rari. “Belanjanya lumayan banyak, Mbaknya Novi.”

“Rari. Dokter bisa panggil Rari, biar enggak ribet.”

Selama ini Rari membiarkan orang-orang di rumah sakit memanggilnya dengan sebutan ‘mbaknya Novi’ karena Rari tahu ada banyak nama pasien yang harus diingat oleh perawat dan dokter di rumah sakit. Tapi mendengar sebutan itu ketika berada di luar rumah sakit, membuat Rari sedikit aneh ketika mendengarnya. Jadi … kali ini Rari menyebutkan namanya agar Dokter Ian bisa memanggilnya dengan panggilan yang lebih singkat.

“Oke, Rari.”

“Berapa, Mbak?” Rari bertanya pada kasir karena tidak ingin es krim yang dibelinya mencair karena Dokter Ian.

Lihat selengkapnya