Kapan Nikah?

mahes.varaa
Chapter #35

KEINGINAN, DOA DAN WAKTU YANG TEPAT PART 5

Dua menit setelah kereta berhenti mendadak, semua orang mulai bicara satu sama lain karena pengumuman gempa yang baru saja mereka terima lewat pesan hp. Gempa dengan kekuatan 8,1 SR, baru saja mengguncang laut selatan yang jaraknya kurang dari 10 km dari daratan. Dengan begitu … pantas saja jika kereta mendadak diberhentikan.

“Mohon maaf kepada penumpang kami yang terhormat. Dikarenakan adanya gempa yang baru saja terjadi, kereta akan berhenti selama lima belas menit untuk dilakukan pemeriksaan rel. Kami memohon penumpang sekalian untuk tidak turun dari kereta, demi keamanan kita semua. Sekian dan terima kasih.”

Kereta api yang Rari tumpangi harusnya tiba pukul 09.47, tapi karena ada gempa kereta akan terlambat sekitar lima belas menit lamanya. Rari yang takut Arti-ibunya cemas, akhirnya mengirim pesan pada ibunya sekalian menanyakan kabar ibunya karena merasa gempa tadi cukup besar.

Arti: Enggak papa. Rumah aman.

Setelah menerima kabar dari Arti-ibunya, Rari hanya bisa duduk menunggu. Tapi Dokter Ian yang sepertinya juga sudah memberi kabar keluarganya, melihat ke arah Rari dan bertanya.

“Mbak?”

“Ya, Dok.”

“Alamat ini, Mbak tahu di mana?”

Dokter Ian menunjukkan alamat yang tersimpan di hpnya. Rari melihatnya dengan cermat dan berusaha mengingat nama-nama jalan di kota J yang tak begitu dihafalnya. Rari sedikit buta arah, selama ini Rari menghafal jalan bukan dari nama jalannya tapi dari nama tempat tertentu.

“Kalo enggak salah, ini enggak jauh dari stasiun, Dok. Ini alamat apa?”

“Kontrakanku.”

“Oh.” Rari menganggukkan kepalanya. “Dokter kerja di rumah sakit mana? Yang aku ingat di dekat stasiun ada beberapa ruamh sakit.”

“Rumah sakit H.”

“Ehhh. Rumah sakit yang bagus.”

Rari ingat betul Rumah sakit H adalah rumah sakit untuk kalangan atas, bahkan mampu membangun jembatan di atas jalan kota karena dua gedungnya dipisahkan oleh jalanan kota.

“Kalo dari rumah Mbak, jauh enggak?”

“Rumahku?” Rari mengerutkan alisnya mendengar pertanyaan Dokter Ian.

“Ya, rumah Mbak.”

“Mungkin sekitar 10-15 menit, Dok.”

“Enggak jauh berarti.”

“Enggak.”

Percakapan kecil Rari itu terhenti karena kereta sudah berjalan. Baik Rari maupun Dokter Ian bersiap untuk turun karena jarak dari lokasi kereta berhenti dengan stasiun pemberhentian sudah tidak jauh.

Tidak sampai tiga menit perjalanan, kereta api yang Rari tumpangi telah berhenti di stasiun kota J. Rari bersama dengan penumpang lain bergantian untuk turun. Tadinya Rari ingin berpamitan dengan Dokter Ian sebagai rasa hormatnya, tapi karena Rari terdorong oleh penumpang lain yang keburu untuk turun, Rari tidak sempat mengucapkan salam perpisahannya.

Mungkin lain kali ada kesempatan ketemu lagi.

Rari berjalan menuju pintu keluar tanpa menoleh ke belakang karena berpikir memang di sinilah akhir pertemuannya dengan Dokter Ian yang seperti hantu gentayangan yang menghantui Rari belakangan ini.

Drrrt, drrrtt!!!

Hp Rari mendadak bergetar. Rari mengira mungkin Arti-ibunya memanggil karena cemas Rari tidak kunjung pulang. Tapi ketika Rari mengambil hp dan melihat layarnya, yang muncul di layar adalah nomor asing.

Apa ada sesuatu dengan Novi dan Ibu?

Dengan pikiran itu, Rari mengangkat panggilan itu. “Halo?”

“Mbak Rari.”

Rari mendengar suasa pria dari peneleponnya. Kuharap ini bukan berita buruk. Rari bicara dengan sangat gugup karena takut menerima berita buruk. “Y-ya, saya sendiri. Siapa ini?” 

“Bisa Mbak menoleh ke belakang?”

“Hah?” Rari terkejut mendengar suara dari peneleponnya. “Maksudnya?”

“Tolong lihat ke belakang, Mbak.”

Rari merasa aneh dengan permintaan dari peneleponnya itu. Tapi karena ingin panggilan itu segera berakhir, Rari melakukan apa yang disuruh peneleponnya. Rari berbalik dan melihat dengan saksama. Di antara banyak penumpang kereta api yang turun dan sedang berjalan keluar menuju pintu keluar, Rari melihat Dokter Ian yang berhenti di tengah-tengahnya dan melambaikan tangannya.

“Apa Mbak lihat aku?”

Lihat selengkapnya