Hari ini 2 orang meninggal, 30 orang luka-luka, 3 orang hilang belum ditemukan, dan sisanya masih hidup. Itulah artikel yang telah selesai dibaca, oleh seseorang yang akan jadi pemeran utama dalam cerita ini, dari sebuah portal berita Online. Yang dimana secara otomatis, akan memunculkan pemberitahuan pada layar handphone miliknya, meski Ia tidak pernah berlangganan secara resmi dengan portal berita itu. Dan tentang kalimat terakhir soal sisanya masih hidup, tentu saja tidak tertulis dalam berita. Ia hanya mengambil kesimpulan sederhana, dari perunutan kejadian yang siapa saja akan mudah menebaknya.
Semua hal ini disebabkan oleh bencana, yang mana bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan menimpa siapa saja. Banyak jenis bencana yang bisa menyebabkan 2 orang meninggal, 30 orang terluka dan 3 orang hilang (Selanjutnya akan disingkat korban). Kita tak akan menyebutkanya satu persatu, tapi bencana akan selalu menyesuaikan dengan keadaan geografis sebuah Negara. Jika itu di Indonesia, potensi bencana sangat tinggi karena keadaan geografisnya berada di cincin api, untuk lebih jelasnya silahkan cari di internet!
Tapi hal yang disebut bencana disini, berbeda dengan apa yang mungkin ada di benak pembaca. Ya, karena ini adalah novel superhero! Mari kita berfikir hal-hal yang membuat si superhero ini dibutuhkan disini. Bencana disini disebabkan oleh serangan mahluk yang tidak mempunyai akal seperti manusia, yang mempunyai tubuh sepanjang 10 meter, tinggi 4 meter, berjalan dengan 4 kaki, bentuknya seperti badak bercula 1 yang mengalami evolusi secara tidak sempurna, dan tentusaja mempunyai potensi merusak yang sangat tinggi. Tapi tenang saja semuanya, mahluk itu kini sudah tergeletak tidak bernyawa, dibunuh oleh seorang pahlawan dari Australia. Ya, pahlawan dari Australia!
Mendengar kata yang berhubungan dengan Negara lain, mungkin darah nasionalisme kita akan terusik. Apalagi jika mereka melakukan hal yang keren di tanah air kita, seolah-olah tidak ada satu orang pribumi yang bisa melakukanya. Tapi menghadapi badak yang 4 kali lebih besar dari normal nampaknya dibutuhkan lebih dari manusia biasa, dalam hal ini pahlawan super. Dan yang paling dekat dengan kita saat ini adalah pahlawan nasional Australia ini.
Kita tak bisa menyalahkan si pahlawan nasional Australia ini juga, karena Ia cuma melakukan kebajikan seperti apa yang seharusnya Ia lakukan. Ketika Ia sedang menganggur di negaranya, apa salahnya membantu Negara tetangga yang sedang kesusahan, dalam hal ini Negara kita sendiri.
Nama pahlawan nasional Australia ini adalah “Captain Boomerang”, setidaknya itulah yang tertulis pada gambar yang dimuat, hasil dari screenshoot wawancara berita tv lengkap dengan tubuh badak yang mati menjadi latar belakangnya. Kita tak akan membahasnya lebih jauh, karena Ia hadir hanya sebagai figuran saja. Fokus bahasan kita adalah, kemana pahlawan nasional kita?
Ada banyak sekali pahlawan yang ada di Negara kita ini, Penulis tak akan menyebutkanya satupun karena terbentur masalah lisensi. Anggap saja mereka ada, dan cerita ini hanya sebagai penyambung saja, juga pelengkap dari seri pahlawan super yang ada di Indonesia ini.
Latar belakang dari cerita ini adalah, setiap Negara besar atau menengah hampir mempunyai pahlawan super mereka sendiri. Untuk mengamankan Negara dari serangan-serangan makhluk besar, yang tak diketahui sumber asalnya dari mana. Yang selama beberapa tahun ini, meneror hampir setiap penduduk bumi di belahan dunia manapun.
Oh ia, narasi di atas tidak menjawab pertanyaan kemana pahlawan nasional kita sekarang. Dan mungkin akan terjawab, oleh berita resmi Negara yang sudah satu tahun ini gencar disebarkan di berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Isi beritanya adalah, “Pencarian Pahlawan Nasional” dengan semua huruf kapital. Dan juga hadir setiap 30 menit sekali, memanfaatkan iklan layanan masyarakat di semua saluran televisi nasional, pertanda Negara sangat serius dalam hal ini. Mungkin karena kita tidak enak meminta bantuan dari Negara tetangga terus menerus. Dan juga demi menjaga marwah dan harga diri bangsa juga, mungkin.
Ini adalah kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi pahlawan nasional,
1. Laki-laki, Usia 25-30 tahun
2. Sehat jasmani dan Rohani
3. Bersedia memberikan jiwa dan raga bagi Negara, 24 jam sehari, dan 7 hari seminggu.
Pemeran utama kita ini mencoba menelaah poin-poin di atas satu-persatu. Dari poin pertama, harus laki-laki. Mungkin ini akan menyinggung penganut teori emansipasi kesetaraan gender, tapi Ia tak peduli karena Ia adalah seorang laki-laki, dan usianya saat ini 26 tahun, tentusaja masuk dalam kriteria tersebut. Poin kedua sehat jasmani dan rohani, kalau hanya sehat saja Ia sudah masuk kriteria, tapi jika untuk menjadi proporsional, lelaki ini sangat jauh dari keadaan itu. Meski tidak disebutkan secara spesifik tentang tinggi, berat, atau memiliki kemampuan atletis pendukung, tapi tetap saja ketika dalam tahap audisi nanti Ia akan merasa minder dengan orang-orang yang punya pola hidup sehat dan rajin ke tempat gym.
Dan poin ketiga, bersedia memberikan jiwa dan raga bagi Negara. Itu juga sebetulnya bukan masalah baginya, tapi mungkin akan menjadi masalah bagi Negara. Karena lelaki ini adalah tipe orang yang tidak hidup normal, bisa dilihat dari kantung matanya yang tebal sekarang. Setelah semalaman mengeprint berkas tebal yang entah apa isinya, penulis tidak tahu. Akan aneh saja, jika nanti ada seorang pahlawan bertarung dalam keadaan sempoyongan karena mengantuk.
Juga jika menimbang potensi persaingan di depan akan sangat ketat, dan dengan mental daya saingnya yang tidak ada sama sekali, maka pemuda ini dengan keyakinan dan kesadaranya menyatakan sangat mantap untuk tidak ikut dalam audisi itu. Bayangkan saja, saat ini penduduk Negara Indonesia kurang lebih 300 juta jiwa (Bukan sensus penduduk saat ini, tapi dengan angka kelahiran sekarang, suatu saat penduduk Indonesia akan mencapai angka ini, Percayalah!) Jika perbandingan laki-laki dan perempuan 1:1, maka jumlah laki-laki adalah 150 juta jiwa. Dan jika kita mengerucutkan lagi ke rentang usia 25-30 tahun, maka bisa disimpulkan akan ada kurang lebih 22.5 juta orang atau 15% dari jumlah 150 juta, yang akan bisa berpotensi mendaftar udisi. Selain malas, faktor untuk tidak terpilih juga sangat tinggi, sekitar 99.99999999999998 % (Silahkan, bagi yang ingin mengoreksi pernyataan hukum perbandingan dan statistik yang dibuat penulis secara serampangan ini, penulis sangat terbuka dengan kritik dan saran).
Sambil memilah baju yang sopan, yang tidak seperti biasanya ini, Ia lalu merapikan diri dan berdandan. Meski tidak akan merubah penampilanya yang tidak rupawan, tapi akan bisa menaikan taraf pandangan orang lain terhadapnya sedikit lebih mending. Nampaknya hari ini Ia akan menemui seseorang yang penting, yang harus menggunakan dokumen tebal sebagai syaratnya. Siapa? Penulis sendiri tidak tahu.
Sebelum memasukan hp ke saku jaket, di layar muncul lagi sebuah berita yang berjudul,
“DIDUGA INGIN MENDAPAT KEKUATAN SUPER, SEKELOMPOK PEMUDA SENGAJA HUJAN-HUJANAN DAN DISAMBAR PETIR!”
“Bodohnya!” Fikirnya dalam hati. Tanpa memperdulikan mereka masih hidup atau tidak.
Ya! Itu adalah sebagian kecil dampak buruk, dari fenomena kemunculan pahlawan super beberapa tahun belakangan. Banyak orang yang ingin mendapat kekuatan super secara instan, dan menjadi pahlawan yang diakui Negara. Karena menjadi pahlawan nasional adalah simbol, sekaligus kebanggaan sebuah Negara. Menjadi pahlawan nasional berarti setara dengan menjadi selebriti, kemanapun akan selalu menjadi sorotan. Tanpa memperdulikan tanggung jawab besar yang ditanggung, dan resiko terburuk yang harus dihadapi, menjadi pahlawan nasional adalah primadona semua orang, apalagi yang ingin mencari ketenaran. Dan untungnya pemuda ini sangat tahu akan hal itu.
Sebelum benar-benar pergi, tidak lupa Ia mematikan komputer yang sedari malam telah menemaninya menghabiskan waktu. Yang telanjang tanpa kesing penutup samping, menampilkan kabel, kipas dan komponen elektronik lainya secara kasat mata. Lengkap dengan debu yang telah mengerak disana selama bertahun-tahun, dan akan tetap berada disana selama komputer itu masih berfungsi dengan baik. Tidak lupa Ia menyimpan data terakhir yang telah dicetak oleh program pengolah kata, dan mengeluarkan semua program pendukung seperti pemutar musik, yang berisi lagu-lagu idola jepang, dan chart band Indonesia tahun 2000-an.
Komputer pun mati, maka biarkanlah Dia beristirahat. Sementara Ia akan pergi, tanpa memperdulikan bungkus mie instan, yang masih berisi sisa bumbu dan mie mentah yang telah dibubuk-kan, yang telah disalahgunakan dengan memakanya tanpa dimasak (Untuk hal ini, mohon jangan ditiru karena ini adalah perbuatan yang berbahaya). Karena jika melihat sekitar, itu bukanlah sampah satu-satunya di ruangan ini. Lelaki ini hidup di tempat, yang seperti seseorang pernah meledakan granat di dalamnya. Analogi ini mungkin aneh, tapi itu benar adanya. Bisa dilihat dari dokumen-dokumen yang berserakan di lantai, bekas-bekas alat elektronik rusak yang dibiarkan menggantung sebagai seni pajangan, atau baju-baju yang harus disingkirkan dahulu ketika akan tidur di kasur.
Entah karena merasa nyaman, atau karena Ia tidak punya orang lain yang bisa memberi nasihat dan peringatan. Tak ada orang yang memarahi ketika rumah kotor, tanpa ada yang peduli ketika tidak ada di rumah, dan tidak ada yang menunggu ketika pulang. Mungkin akan tahu diri dan berbenah, setelah terkena penyakit gangguan pernafasan. Dan mungkin akan sedikit sadar dan dibereskan, ketika ada tikus mati tersembunyi di sudut ruangan.
Sudah lama Ia tinggal sendirian di rumah ini. Rumah yang cukup luas peninggalan orang tuanya, tanpa tahu punya saudara lain atau tidak di suatu tempat. Dengan halaman dan tempat parkir, meski Ia tidak punya kendaraan. Ya setidaknya dengan mempunyai rumah, telah berkurang satu kekhawatiran dalam hidup, tuntutan untuk mempunyai tempat tinggal layak milik pribadi, amunisi yang bisa dibanggakan di depan calon mertua, yang penulis khawatirkan juga sekarang.
Kembali lagi pada cerita pemuda ini, yang ketika kita membahas tempat tinggalnya, Ia sudah berpindah lokasi, dan sedang duduk manis di sebuah kursi, di dalam ruangan tertutup. Penulis sudah melewatkan beberapa hal, seperti bagaimana Ia mengunci pintu, alat transportasi apa yang Ia gunakan, atau kemana Ia akan pergi. Tapi nampaknya itu tidak penting lagi sekarang.
“Bisa tolong sebutkan namamu?” Lawan bicara pemuda ini, sambil meraih dokumen tebal yang telah dijilid. Yang peristiwa penjilidanya telah kita lewatkan juga,
“Darwin Archimedes, Pak!”
“Oh! Sama dengan yang tertulis di skripsi ini!” Melihat nama penyusunya di cover,
“Ya! Karena itu skripsi saya Pak! Dan Bapak adalah dosen pembimbing skripsi saya!”
“Oh! Kamu adalah orang yang datang kemarin itu?”
“2 hari yang lalu tepatnya!” Menjelaskan dengan sabar, karena kita tak bisa menghakimi proses penuaan seseorang.
Si bapak ini mulai membuka skripsi ini,
“mmmm......................................................................................................................... waktu itu salahnya dimana saja ya?” Bertanya setelah membuka beberapa halaman,
Lelaki ini mengumpulkan kembali kesabaran,