KAPTEN - SEBUAH CERITA PAHLAWAN NASIONAL

Herlan Herdiana
Chapter #6

6. Septictank

Pagi hari, di hari yang sama tanggal 13 Juli 2026. Sebelumnya penulis pernah menjelaskan kalau fasilitas ini berada di pinggiran kota Bandung, dan yang namanya pinggiran pasti masih asri akan pemandanganya, apalagi jika itu menyangkut so’al tanah parahyangan, pasti masih banyak sawah dan sungai yang masih belum terkontaminasi kapitalisme. Bukan maksud menyindir atau apapun, tapi hanya ingin menghubungkan saja dengan cerita dari novel ini.

Tepatnya 500 meter dari fasilitas yang meledak semalam, di sebuah sungai yang airnya tidak dalam dan masih banyak batu besar berjejer tidak beraturan di alurnya. Dengan airnya yang masih sangat jernih, terlihat dari warna-warni dasar sungai, yang diciptakan dari tanah dan kerikil yang bercampur secara random.

Tapi bukan itu yang ingin diceritakan. Karena seperti yang kita tahu, ini adalah novel pahlawan super. Dan seperti cerita klise superhero, yang mana sebagian besar mendapat kekuatan dari kecelakaan dan ketidaksengajaan, serta faktor keberuntungan yang sangat tinggi, di novel inipun ceritanya akan seperti itu, walaupun tidak akan persis sama karena menghindari plagiarisme. Dan jika ingin jujur penulis sangat benci mengakuinya, untuk memakai alur cerita superhero yang sangat pasaran ini. Tapi mau bagaimana lagi, sejauh apapun penulis berimajinasi, alur inilah yang dirasa terbaik untuk bisa muncul dalam sebuah cerita pahlawan super yang ideal. Apalagi jika cerita ini ingin laku, tentunya harus bisa memunculkan karakter yang bisa memainkan ekspektasi pembaca. Istilah kerenya, From Zero to Hero!

Kembali ke cerita,

Darwin terbangun dan tersadar di pinggiran sungai. Suasana saat itu masih berembun, yang secara otomatis mengganggu jarak pandang menjadi terbatas. Ketika melihat sekeliling, Ia berfikir kalau dirinya sudah mati. Setelah memikirkan dengan seksama kejadian semalam yang tak mungkin baginya untuk selamat, dan juga diperkuat dengan menyadari, kalau Ia sekarang berdiri di atas batu tanpa sehelai benang pun.

“Jadi ini adalah akhirat.” Fikirnya,

Ia sedikit lega, karena dalam agama kepercayaanya, kalau tempatnya di alam baka itu indah, maka kemungkinan Ia mati dalam keadaan syahid. Dan juga jika difikir-fikir, selama Ia hidup di dunia, Ia termasuk orang yang tidak pernah meninggalkan sholat, rajin ke masjid, dan yang terpenting tidak pernah menggunakan rejeki yang bukan menjadi haknya.

Darwin menutup matanya, lalu menarik nafas dalam-dalam untuk menikmati setiap udara segar di pagi hari itu. Dalam hatinya Ia sudah sangat ikhlas menerima takdir kalau dirinya sudah mati, dan tidak ada penyesalan apapun ketika Ia hidup, walaupun durasinya sangat singkat, yang jika dihitung hanya mencapai seperempat abad lebih satu tahun, dan juga belum menikah, serta belum pernah mencium wanita seumur hidupnya.

“Tuhan! Aku sudah siap dengan perjalananku selanjutnya!” Katanya, dengan penuh keyakinan.

“JANG! Teu tiris isuk-isuk buligir di wahangan? (JANG! Apa tidak dingin telanjang pagi-pagi di sungai?)Seru bapak-bapak paruh baya yang nampaknya sedang bertugas di sawahnya. --‘Jang’ atau ‘Ujang’ adalah sebutan pada lelaki yang lebih muda, umumnya dari orang tua pada anak-anak--

Darwin tentusaja tidak menyangka akan ditanya pertanyaan itu, karena pertanyaan yang Dia tunggu adalah Man Rabbuka? dari malaikat penanya, dengan semua jawaban yang sudah Ia siapkan matang-matang.

“Punten! Ari Bapa saha? (Permisi! Bapak siapa ya?)

“Bapa mah petani anu kagungan sawah didieu! (Bapak yang punya sawah disini!)

“OH!” Mulai sadar akan sesuatu,

“Tadi teh ningal tikatebihan aya nu ngagoler dina cai, suganteh mayit da henteu aya oyag-oyagna. Pas dicaketan, langsung hudang terus naek kana batu! (Tadi dilihat dari kejauhan ada yang terkapar di air, saya kira mayat karena tidak bergerak sama sekali. Ternyata setelah didekati langsung sadar dan bergerak naik ke batu!) Ari ujang saha? Jeung timana? Da jiganamah sanes urang dieu-nya? (Ujang namanya siapa? Juga darimana asalnya? Kalau dilihat-lihat bukan orang sini ya?)

Dengan pernyataan itu, Darwin sepenuhnya sadar kalau Ia masih berada di alam dunia. Dan sekarang Ia merasa heran karena tidak merasakan dingin, ataupun rasa sakit bekas benturan, dan bagaimana caranya Ia bisa selamat dari ledakan semalam?

“Muhun Pak! Abdi anu damel di gedung penelitian! (Ia Pak! Saya orang yang bekerja di gedung penelitian!)”

“Oh! Anu kahuruan Kamari? (Oh! Yang kebakaran kemarin?)”

“Muhun!

“Padahal lebar eta bangunan badag kitu bet tiasa kahuruan. Ayeunamah tos lenyap rata jeung taneuh! (Padahal sayang gedung sebesar itu harus terbakar! Sekarang gedung itu sudah lenyap rata dengan tanah!)”

Si Bapak seolah menjelaskan dampak akibat perbuatan Darwin secara jujur,

“Muhun-nya! Lebar pisan! Upami saterang bapak aya korban henteu dina kahuruan eta? (Ia! Sangat disayangkan! Kalau setahu Bapak, ada korban tidak dari kebakaran semalam?)”

“Saterang Bapak mah teu aya! (Setahu Bapak tidak ada korban!)”

Hanya memastikan kalau saja Ia masih hidup, dan si Bapak tidak sedang berbicara dengan arwah yang belum sempurna.

“Terus Ujang keur nyianaon didieu? (Terus Ujang sedang apa disini?)

.................................................

“Abdi teu uninga Pak! Dinten kamari sore abdi bade damel di gedung, naek angkot ti bumi terus di jalan di rampok da kepala belakang aya nu neunggeul, terus jiganamah dipiceun didieu! (Saya tidak ingat Pak! Kemarin sore ketika akan berangkat kerja, saya naik angkot dari rumah dan dirampok di jalan karena bagian belakang kepala saya ada yang memukul, terus setelah selesai merampok nampaknya mereka membuang saya disini!)Itulah alasan bohong terbaik yang bisa Ia fikirkan,

“Dirampok dugika pakean-pakeana? Aduh meni watir pisan si ujang! (Dirampok sampai ke pakaian-pakaianya? Aduh kasihan sekali Kamu Ujang!)”

“Muhun Pak! Upami tiasa abdi nyuhunkeun bantosan kanggo pakean abdi Pak! Soalna abdi teu tiasa uih kikiyeuan! (Ia Pak! Kalau bisa Saya minta bantuan untuk meminjami saya pakaian! Soalnya saya tidak bisa pulang dalam keadaan begini!)”

“Ari kitumah nganggo we heula ieu pakean tina bebegig(oran-orangan sawah)! Kanggo samentara mah daripada di jalan dianggap nugelo! Da Bapak teu nyandak gentos, jaba bumi Bapak tebih! (Kalau begitu pakai saja pakaian dari orang-orangan sawah itu! Untuk sementara daripada di jalan diteriaki orang gila! Bapak juga gak bawa baju ganti, juga kalau pulang dulu rumah Bapak Jauh!)” Sambil menunjukan orang-orangan sawah yang berdiri tegak sekitar 20 meter darisana,

“Hatur nuhun Pak!” Bergegas ke arah orang-orangan sawah itu,

Dengan begitu, satu masalah tentang menutupi tubuhnya yang telanjang sudah terselesaikan, dan mari fikirkan masalah-masalah yang akan datang selanjutnya.

Sekarang jam 8:00 pagi, tentusaja waktu Indonesia bagian barat. Setelah kucing-kucingan dengan Dinas Sosial agar tidak ditangkap dan masuk panti sosial, Darwin bisa pulang dengan menyetop angkot di jalan raya terdekat, dan untungnya sopir angkot tidak menaruh curiga sedikitpun, hanya saja Ia menolak dibayar dan bilang nanti saja sekalian setelah habis pulang mengemis. Darwin tak banyak bicara karena memang Ia tak memegang uang, Ia hanya bisa mendo’akan bapak supir angkot supaya rejekinya lancar selalu.

Sekarang Ia harus mandi, karena ini adalah hari kerja. Penulis pernah bilang sebelumnya kalau Darwin bekerja di fasilitas itu sebagai pihak ketiga, Ia hanya dibayar sebagai suruhan dari perusahaan yang bekerja sama dengan pemerintah, jadi mau tempat kerjanya meledak dan lenyap sekalipun itu tidak berdampak pada kegiatan harianya.

Setelah selesai mandi Ia mulai memikirkan bagaimana Ia bisa selamat dari kejadian semalam, sambil mengeringkan badan dengan handuk, dan tatapan mata kosong karena jiwanya sedang tidak ada disana. Apa mungkin dirinya sudah punya kekuatan super seperti si Olvis, katak hasil percobaan disana? Karena tadi pagi saat telanjang di sungai Ia tidak merasakan dingin sedikitpun, juga jika difikir-fikir dengan ledakan sebesar itu mustahil bagi dirinya bisa selamat jika Dia orang biasa. Ya! Kemungkinan besar Ia sudah menjadi orang dengan kekuatan super sekarang. Tapi bagaimana Ia bisa terdampar di sungai itu? Apa Dia terlempar sampai sejauh itu? Jaraknya lumayan, bisa sampai 500 meter. Atau mungkin Ia berubah menjadi elemen cair, lalu terbuang ke sungai dan memadat kembali di tempat Ia sadar, karena memang di belakang fasilitas itu ada sungai yang mengalir kesana. Tapi itu hanya imajinasi liarnya saja, meski ada kemungkinan itu benar.

“KRAKK!”

Setelah dilihat ternyata itu adalah alat cukur pisau ganda yang sedang Ia gunakan telah patah, dengan ini fix Ia punya kekuatan super. Karena Ia tidak merasakan sakit saat pisau dari alat cukur mengenai kulitnya, dan malah pisau itu yang patah karena Ia muncukur sambil melamun.

Jam 09:00, dan telah berpindah ke tempat kerjanya. Darwin bertemu Adit di pintu masuk,

“Pagi Dit!”

“Pagi A!” Lalu nyelonong ke meja kerjanya,

“.............” Ia mengharapkan untuk ditanya. Entah itu kabarnya setelah kehilangan pekerjaan di penelitian, atau hanya sekedar menanyakan kenapa Ia memakai kemeja biasa, karena pakaian kerjanya lenyap bersama gedung penelitian.

“Pagi Ivan! Nampaknya lagi sibuk ya?” Setelah berada di depan meja Ivan, dan masih ingin ditanya.

“Pagi A! Iya nih, kerjaanya ditunggu si Pak Bos.” Ivan, tanpa menoleh sedikitpun.

“Oh gitu!” Masih berdiri,

Lihat selengkapnya