KAPTEN - SEBUAH CERITA PAHLAWAN NASIONAL

Herlan Herdiana
Chapter #16

16. Kalong

“Pintu akan dibuka! Sekarang beralih ke komunikasi radio, agar kita tetap bisa saling mendengar!” Kolonel Eka, sambil bersiap memegang tuas di dinding.

“Siap Kolonel!” Semua anak buah Kolonel,

Kolonel Eka menarik tuas, lalu pintu belakang pesawat terbuka secara pelan menggunakan fungsi mekanik. Dan perlahan, angin kencang dari ketinggian 10.000 kaki menerpa masuk. Semua orang telah memakai helm anti peluru, yang dilengkapi dengan kaca bening untuk menutupi bagian mata, kecuali Darwin yang hanya memakai kacamata tukang las dan Satria yang memakai helmnya sendiri.

“Satria!” Suara Darwin terdengar dari speaker di helm Satria, “Ini adalah komunikasi satu arah denganmu!”

“Ada apa?” Satria hanya berbicara pelan. Dan diluar, suara yang datang langsung dari mulut tidak akan terdengar, karena angin yang kencang.

“Aku takut ketinggian!” Dengan nada datar,

“Kau sudah bawa parasut, dan meskipun tidak bawa parasutpun Kau tidak akan mati!”

Dan satu-persatu pasukan Kolonel mulai terjun dari pesawat,

“Mereka tampak mudah melakukanya!” Darwin, yang mencoba menjauh untuk mendapat posisi terjun terakhir.

“Kau hanya perlu melakukan apa yang sudah kuberitahu padamu!” Satria, saat mereka berdua menjadi orang terakhir yang belum terjun dari pesawat.

“Untuk bisa mahir, seseorang butuh praktek latihan. Bukan begini caranya!”

“Latihan terbaik, adalah dengan ujicoba secara langsung!” Lalu Satria mendorong Darwin, yang sudah ada di ujung lantai pesawat, dengan tanganya.

“AAAAAAAAHHH!” Darwin, lalu dengan reflek menekan tombol pengembang parasut.

“Sudah kubilang, tunggu aba-aba dulu sebelum mengembangkan parasut!” Melihat parasut Darwin mengembang dengan sempurna, dan Ia mulai terbawa angin.

“KAU YANG MEMBUATKU PANIK!”

“Dalam ketinggian seperti ini, akan sulit mengendalikan parasutnya! Kau akan terbawa jauh dari sasaran landing!”

“Apa yang harus Aku lakukan sekarang?”

“Ada tombol merah di ujung tali sebelah kiri, dari tas parasutmu. Gunakan itu untuk melakukan kendali otomatis!”

Darwin mencari tali itu, menemukanya, dan segera menekan tombolnya.

hasilnya, tali parasut yang menghubungkan antara Darwin dan kain parasut itu terlepas!

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!” Darwin terjun bebas, dan sekarang benar-benar bebas sebebas-bebasnya.

“KROSHAAKKK!” Suara tubuh Darwin mendarat diantara daun, ranting, dan pepohonan.

“Kapten Indonesia! Alias Satria Hendrawan! Aku akan benar-benar mengingat kejadian ini! Seumur hidupku, setiap detiknya!” Darwin benar-benar marah, dengan posisi kepala dan tubuh yang terbalik. Sambil menggantung di atas pohon, karena sisa tali dari parasut tersangkut di dahan. 

“Aku tidak berbohong, saat kubilang bisa dapat kendali otomatis. Kau tidak perlu lagi mengendalikanya kan? Lagipula, akan merepotkan jika Kau terbawa angin dan mendarat entah dimana.” Satria, yang sekarang sedang terjun perlahan dengan parasutnya.

“Kau selalu menemukan alasan logis untuk semua perbuatanmu.” Darwin, yang tidak punya lagi argumen untuk mendebat Satria.

“JIka Kau sudah ada dibawah, segera hampiri pasukan Kolonel! Mereka sudah mengirim lokasinya ke GPS-mu.”

“Sebentar! Aku masih bergelantungan di pohon sekarang!” Sambil sibuk memotong tali di kakinya dengan pisau lipat.

“Oh! Kalau begitu......”

Tali yang mengikat Darwin berhasil terpotong, “AAAAHH!” Dan Darwin terjun bebas lagi, kali ini dari ketinggian sekitar 5 meter.

“.......... jangan lupa, untuk tidak mendarat dengan wajahmu lagi!”

“Terimakasih atas saranya!” Dengan setengah muka yang tertanam di tanah, dan posisi tubuh belakang agak menungging. Ya, Darwin mendarat dengan mukanya lagi.

Adegan dipercepat menuju tempat pertemuan yang ditentukan gps,

“Disini pintu Goa-nya! Tapi Aku tidak melihat satupun pasukan Kolonel!” Darwin,

“Mereka ada disini, sedang bersembunyi. Sisanya berpencar ke pintu masuk Goa yang satu lagi.”

“Oh! Kukira Sniper saja yang memakai teknik Kamuflase.”

“Tidak sampai Kamuflase juga! Mereka hanya ada dibalik pohon saja. Sekarang gunakan mode malam pada kacamatamu! Di dalam tidak akan ada cahaya sama sekali.”

Darwin menuruti apa yang diperintahkan Satria, dengan memakai kembali kacamata tukang las yang masih ada dikepalanya.

Lalu mereka berdua masuk, menelusuri jalan satu arah dimana mereka tidak tahu kemana tujuan, dan siapa yang akan ditemui. Hanya melangkahkan kaki dengan keyakinan, dan kewaspadaan yang tinggi. Dengan senjata yang digenggam dan bahan peledak canggih yang siap meratakan tempat itu, penghuni rumah pasti akan terkejut dengan kedatangan mereka. Karena yang pasti, mereka kesana tidak bermaksud untuk bertamu.

“Disini titiknya menghilang! Dan sekarang jalanya terbagi menjadi dua!” Satria, ketika mereka berhenti berjalan.

“Kami tahu, Kami dapat melihatnya dari visual kamera yang ada padamu. Apa kalian bisa berpencar!” Jendral Tidar, lewat sambungan suara.

“Bisa Jendral!” Darwin,

“Kau yakin?” Satria,

“Tentu saja!”

“Kalau begitu bagus! Berjalanlah dengan senyap! Jika salah satu dari Kalian menemukan makhluk itu, pasang peledaknya dan segera lakukan evakuasi!” Jendral Tidar,

“Baik Jendral!” Darwin dan Satria, secara bersamaan.

“Jadi kita berpisah sekarang?” Satria, setelah hubungan suara dengan ruang kontrol berakhir.

“Ya, mau bagaimana lagi! Kita tidak tahu dimana makhluk itu berada sekarang!”

Lihat selengkapnya